Rabu 22 Dec 2021 05:55 WIB

Mualaf Sulthon, Murtad dan Kembali Bersyahadat: Saya Rindu Islam

Mualaf Sulthon sangat terkesan dengan makna tauhid

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Nashih Nashrullah
Mualaf Sulthon sangat terkesan dengan makna tauhid.
Foto: Dok Istimewa
Mualaf Sulthon sangat terkesan dengan makna tauhid.

REPUBLIKA.CO.ID, Perjalanan hidup seorang insan sering kali berliku. Hal itu dibenarkan Anton Kristiono. Lelaki yang kini berusia 38 tahun itu mencontohkan kisahnya sendiri. Dalam hidupnya, ia pernah murtad, tetapi kemudian berislam kembali dengan tekad dan keyakinan yang lebih mantap.

Pria yang saat ini aktif membina para mualaf itu menuturkan pencarian jati dirinya. Ia mengaku, keluarganya tergolong religius. Bahkan, kakek dari pihak ibundanya merupakan seorang ulama di Malang, Jawa Timur. Ketokohannya diakui masyarakat lokal sehingga namanya dijadikan nama sebuah jalan, yakni, Jalan KH Parseh Jaya.

Anton menceritakan, latar dirinya menjadi murtad saat itu bermula dari ayahnya yang kawin lagi. Poligami yang dilakukan bapaknya itu, lanjutnya, tidaklah sesuai syariat Islam. Akibatnya, suasana di rumah tidak lagi kondusif. Kedua orang tuanya lalu bercerai pada 1995.

Anton, yang saat itu masih berusia 12 tahun, akhirnya menjadi anak broken home. Keadaan itu berdampak pada kondisi psikisnya. Saat itu, konsentrasinya cenderung mudah buyar.

Akhirnya, murid kelas dua madrasah tsanawiyah itu terpaksa putus sekolah. Karena merasa tidak betah di rumah, dirinya lebih suka berkumpul dengan anak-anak yang juga tidak bersekolah. Jadilah Anton muda waktu itu sebagai seorang anak jalanan.

Menurutnya, saat itu keputusannya untuk menggelandang tidak didorong faktor ekonomi, semisal ke tiadaan biaya untuk terus bersekolah. Ia hanya merasa, kedua orang tua telah mengecewakannya. Dalam pandangannya waktu itu, apa gunanya lagi menuruti kemauan mereka? Lebih baik hidup dengan penuh kebebasan.

Baca juga : Peserta Muktamar NU Saksikan Pembukaan Secara Daring

Ia ingat, sebelum menjalankan keputusannya hidup di jalanan-dirinya cenderung berislam secara sinkretisme. Bukan dengan kemauannya sendiri, melainkan arahan dari orang-orang terdekatnya.Sebagai contoh, saat masih belia dirinya pernah diajak berziarah. Namun, tujuannya bukan untuk mengingat kematian, melainkan mendapatkan aura keahlian dari si mayat.

Bahkan, sempat pula Anton muda disuruh melakukan puasa mutih. Selama dua tahun, ia hanya makan nasi putih, singkong dan minum air putih. Pada tahun kedua, ia diajari ilmu kebal. Sempat dirinya berpikir, Nabi Muhammad SAW saja tidak kebal saat mengikuti berbagai medan jihad, semisal Perang Uhud. Gigi beliau sampai-sampai tanggal karena diserang musuh.

"Saya juga waktu itu diminta memandikan keris dan barang lain yang diagungkan. Namun, lambat laun saya meninggalkan hal tersebut. Jadi, saya pernah murtad, tetapi tidak syirik," ujarnya kepada Republika, baru-baru ini.

Aktivis organisasi mualaf Ibrahim Alhanif Centre dan Forum Arimatea Jabodetabek itu menam bahkan, satu momen penting dalam hidupnya terjadi pa da 1998. Saat itu, dirinya berjumpa dengan seorang penganjur ajaran sekte. Orang tersebut memperkenalkannya pada sebuah agama non-Islam yang-dalam pemahaman sekte ini-mempercayai adanya satu Tuhan.

Baca juga: Mualaf Koh Asen, Tergugah Buku Seputar Alam Gaib

Mengenai Nabi Isa, sosok mulia itu dianggapnya sebagai manusia sehingga tidak berhak disembah. Bagaimanapun, aliran keagamaan yang berasal dari Amerika Serikat (AS) abad ke-18 itu tetap menampik kenabian Rasulullah Muhammad SAW.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement