Kamis 23 Dec 2021 19:03 WIB

Melirik Keadilan di Tuntutan Mati Terdakwa ASABRI

Dalam kasus megakorupsi ASABRI hanya terdakwa dari swasta yang dikenai tuntutan mati.

Terdakwa kasus korupsi ASABRI Heru Hidayat (kanan) berjalan meninggalkan ruangan saat jeda sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta. Jaksa penuntut umum mengajukan tuntutan hukuman mati bagi Heru.
Foto: ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
Terdakwa kasus korupsi ASABRI Heru Hidayat (kanan) berjalan meninggalkan ruangan saat jeda sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta. Jaksa penuntut umum mengajukan tuntutan hukuman mati bagi Heru.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono, Amri Amrullah

Kejaksaan Agung (Kejagung) optimistis majelis hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) mengabulkan tuntutan tim jaksa penuntut umum (JPU) terhadap para terdakwa korupsi, dan pencucian uang (TPPU) PT ASABRI. Direktur Penuntutan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Sudarwidadi mengatakan keyakinanya itu, termasuk soal vonis hukuman mati.  

Baca Juga

Sudarwidadi mengatakan, vonis dan hukuman adalah kewenangan para pengadil di akhir sidang. Tetapi fakta-fakta persidangan yang sudah berjalan menguatkan tuduhan jaksa terkait mega korupsi yang merugikan negara Rp 22,78 triliun itu.

“Kalau soal vonis, itu kan domainnya hakim. Tetapi, kalau kita (jaksa) sudah menuntut hukuman mati, ya tentunya kita harus yakin itu yang diputuskan oleh hakim nantinya,” ujar dia saat ditemui di Kejagung, Jakarta, pada Kamis (23/12).

Tim JPU, kata Sudarwidadi, sudah maksimal dalam menyidangkan kasus korupsi dan TPPU ASABRI tersebut. Menurut dia, jaksa tak boleh berspekulasi, apalagi melakukan intervensi atas putusan hakim nantinya. Namun menurut dia, segala upaya untuk memberikan yang adil bagi masyarakat terkait perkara tersebut, sudah dilakukan.

“Kita lihat saja nanti. Kita yakin dengan tuntutan. Soal putusan itu kewenangan hakim nantinya,” sambung dia.

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Dian Adriawan melihat tuntutan jaksa dari Kejagung terhadap para terdakwa kasus ASABRI tidak adil. Pasalnya, terdakwa Heru Hidayat dituntut dengan pidana mati, sementara mantan dirut dan direksi PT ASABRI dituntut dengan pidana penjara 10-15 tahun.

“Kalau mengenai ancaman pidana tergantung dari peran-peran yang dilakukan. Tetapi kalau misalnya ada yang dituntut dengan pidana mati sedangkan yang lain tidak dituntut dengan pidana mati, itu sesuatu yang menurut saya tidak adil. Dalam kasus ini, pasal yang diterapkan pasal yang sama dan di-junto-kan dengan Pasal 55 KUHP kan. Nah, kalau dijunto dengan pasal 55 dan terbukti berarti di sini tidak mungkin ada yang dipidana mati karena pasal yang didakwakan itu Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor,” tutur Dian.

Dian mengaku aneh karena aktor penting dalam perkara korupsi adalah pejabat atau penyelenggara negara. Keterlibatan pihak swasta, umumnya, kata Dian, dikaitkan dengan Pasal 55 KUHP, yakni turut serta melakukan perbuatan pidana.

“Karena begini, dituntut dengan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor jucnto Pasal 55 KUHP, Pasal 55 itulah yang mengkaitkan keberadaan pihak swasta di dalam kasus ini. Kok malah swasta yang diperberat ancaman pidananya, tuntutan pidananya,” jelas Dian.

Dian mengibaratkan kasus korupsi ini dengan permainan bulutangkis ganda. Jika satu pemain salah, maka yang lain juga salah dan hukumannya juga berdampak untuk semua dan sama.

“Kalau kasus ASABRI ini, justru yang utama dilihat itu pihak penyelenggara negara, baru pihak swasta Pasal 55 KUHP. Tetapi kemudian kenapa yang Pasal 55 (swasta) justru lebih tinggi ancaman hukumannya. Itu kan nggak logis, justru penyelenggara negaranya yang harus lebih tinggi karena ketentuan korupsi kan untuk penyelenggara negara sebenarnya. Aneh ini,” pungkas Dian.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga Nur Basuki Minarno menanggapi pula perbedaan tuntutan dari jaksa. Ia menilai penyelenggara negara atau pegawai negeri sipil seharusnya dituntut dan diancam dengan pidana hukum yang lebih berat dibandingkan pihak swasta dalam kasus-kasus korupsi. Pasalnya, korupsi terjadi karena adanya keterlibatan penyelenggara negara atau PNS.

“Kalau secara umumnya, mestinya yang penyelenggara negara atau pegawai negeri ancaman hukumannya harus lebih berat dari pihak swasta. Karena pada umumnya korupsi itu terjadi karena ada keterlibatan dari pegawai negeri atau penyelenggara negara,” ujar Nur kepada wartawan.

Nur menegaskan hampir mustahil kejahatan korupsi tidak melibatkan penyelenggara negara atau PNS. Karena, kata dia, penyelenggara negaralah yang mempunyai kekuasaan dan wewenang yang mengatur kebijakan dan mengelola anggaran negara.

“Korupsi itu mestinya melibatkan aparatur negara karena aparatur negara itulah yang mempunyai kekuasaan, mempunyai kewenangan untuk itu,” terang dia.

Dia juga menegaskan ancaman hukuman terhadap terdakwa korupsi tidak tergantung pada besar atau kecilnya kerugian negara yang diakibatkan dari tindak pidana terdakwa. Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), kata Nur, tidak mengatur sama sekali besaran kerugian negara akan mempengaruhi ancaman hukuman terhadap terdakwa.

“Dalam UU Tipikor, besarnya kerugian keuangan negara itu, itu tidak linear dengan berat ringannya pidana. Khususnya dalam Pasal 2 dan Pasal 3 (UU Tipikor), tidak mencantumkan berapa kerugian keuangan negara. Yang penting di situ, ada kerugian keuangan negara yang disebabkan perbuatan melanggar hukum atau penyalahgunaan wewenang, itu merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana maksud Pasal 2 dan Pasal 3,” jelas Nur.

Nur enggan menyebutkan tuntutan jaksa tersebut tidak adil karena menurut dia makna kata ‘adil’ tersebut sangat tergantung sudut pandang masing-masing pihak. Hanya saja, kata dia, jika ditempatkan dalam porsi yang sesuai dan tepat, maka hukuman terhadap penyelenggara negara dalam kasus korupsi harus lebih berat dibandingkan pihak swasta.

“Saya nggak ngomong adil atau tidak adil, karena susah untuk mengukurnya, adil itu dari sisi yang mana, memang susah memberikan definisi adil, tergantung dari sisi mana. Jadi, kita kembali ke porsinya masing-masing,” jelas Nur.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement