Kamis 30 Dec 2021 22:02 WIB

Bongsang, Atasi Limbah, Berdayakan Ekonomi Warga Putus Sekolah

Bonggol pisang itu diolahnya menjadi keripik dan kerupuk.

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Agus Yulianto
Hera Wijaya dengan sejumlah produk Bongsang.
Foto: Lilis Sri Handayani / Republika
Hera Wijaya dengan sejumlah produk Bongsang.

REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU - - Banjir besar pernah melanda Kabupaten Indramayu pada 2014 silam. Namun dari bencana itulah, Hera Wijaya (25 tahun) justru mampu menggali manfaat besar bonggol pisang hingga melahirkan produk olahan makanan yang diberi merek Bongsang.  Tak hanya bermanfaat bagi lingkungan, namun Bongsang juga mampu memberdayakan ekonomi warga sekitarnya.

Deretan keripik dan kerupuk Bongsang tertata rapi di etalase rumah milik Hera di Jalan Budiraja 02, RT 02 RW 01, Desa Pringgacala, Kecamatan Karangampel, Kabupaten Indramayu. Produk olahan bonggol pisang itu dikemas menarik dengan kemasan berbahan aluminium foil, yang dilengkapi animasi bonggol pisang. Ada beragam varian rasa yang ditawarkan, yakni original, gurih, jagung bakar, balado dan barbeque.

‘’Ini snack lezat anti mainstream, kriuknya nagih,’’ ujar Hera kepada Republika, Kamis (30/12).

 

photo
Hera Wijaya menunjukkan bahan produk olahan Bongsang. - (Lilis Sri Handayani /Republika )

 

Sebelumnya tak pernah terlintas dalam benak Hera untuk memproduksi Bongsang. Dengan latar belakang keilmuan di bidang teknik informatika, dia tak paham sama sekali cara membuat produk makanan. Apalagi yang terbuat dari bonggol pisang. Semua itu bermula dari banjir besar sekaligus tugas dari dosen di kampusnya.

Pada 2014 silam, banjir merendam 28 kecamatan dari 31 kecamatan yang ada di Kabupaten Indramayu. Di antaranya adalah Kecamatan Krangkeng dan Kecamatan Karangampel. Banjir merendam permukiman warga di dua kecamatan yang bertetangga itu dengan ketinggian hingga sepinggang orang dewasa. Banjir juga membuat jalur pantura penghubung Indramayu – Cirebon di kecamatan tersebut tak bisa dilintasi kendaraan. Alhasil, kendaraan dari arah Cirebon menuju Indramayu harus memutar arah puluhan kilometer lewat Palimanan, Kabupaten Cirebon.

Hera, yang kala itu masih menjadi mahasiswa semester satu di Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC), turut terimbas kondisi tersebut. Setiap hari, dia harus menempuh perjalanan dari tempat tinggalnya di Desa Pringgacala menuju kampusnya yang ada di Cirebon. Mobil elf yang ditumpanginya, yang juga milik dan dikemudikan oleh bapaknya, terpaksa memutar jalan menjadi lebih jauh.

Dalam waktu bersamaan, Hera harus mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa di kampusnya. Dosen di jurusan Teknik Informatika Fakultas Teknik UMC, menugaskannya untuk membuat sebuah produk dalam program tersebut. Awalnya dia membuat martabak, namun produk itu ditolak oleh dosennya.

‘’Dosen ingin produk yang berbeda, yang berawal dari permasalahan di daerah masing-masing,’’ kata Hera kepada Republika, Kamis (30/12).

Seketika, Hera langsung teringat dengan banjir yang melanda tempat tinggalnya. Dia pun melakukan social mapping untuk mengetahui akar masalah dari banjir tersebut. Selain curah hujan diatas normal hingga 400 mm per bulan, banjir di daerahnya ternyata diperparah dengan sampah yang menyumbat aliran sungai di Kecamatan Krangkeng. 

‘’Sungai di Krangkeng tersumbat oleh bonggol pisang,’’ cetus Hera.

Bonggol pisang merupakan bagian bawah dari pohon pisang. Saat panen, petani hanya mengambil buah dan daun pisangnya untuk dijual. Begitu pula dengan pelepah pisang, yang dimanfaatkan untuk pakan entog. Sedangkan bonggol pisang, dibuang begitu saja, terutama ke sungai dan saluran irigasi, karena menilai benda itu tidak bermanfaat.

Akibatnya, bonggol pisang banyak memenuhi sungai maupun saluran irigasi hingga menyumbat jalannya air. Saat curah hujan tinggi, air pun meluap dan menyebabkan banjir.

Hera merasa sudah menemukan permasalahan di daerahnya sendiri. Namun, dia bingung mengolah bonggol pisang itu menjadi sebuah produk yang diinginkan oleh dosennya. Karenanya, dia membawa bonggol pisang itu secara utuh ke hadapan dosennya.

‘’Saya bilang ingin memanfaatkan bonggol pisang. Cuma belum tahu mau dibuat apa karena basic saya bukan pangan, melainkan informatika,’’ tutur Hera.

Hera lantas menelusuri cara pengolahan bonggol pisang menjadi olahan pangan melalui google. Namun, dia sulit menemukan informasi itu karena bonggol pisang memang tidak biasa dan tidak mudah diolah menjadi produk makanan. Bonggol pisang memiliki banyak getah dan teksturnya keras.

Namun, rasa penasaran yang tinggi membuat Hera terus berusaha mencoba mengolah bonggol pisang menjadi makanan. Selama empat tahun sampai 2018, dia terus melakukan riset maupun trial and error sendirian sambil terus menjalani kuliahnya. Hingga menjelang kelulusannya, dia akhirnya berhasil menemukan formula dan resep olahan bonggol pisang. Bonggol pisang itu diolahnya menjadi keripik dan kerupuk. 

‘’Produknya saya beri nama Bongsang, yang artinya bonggol pisang,’’ tukas Hera.

Hera kemudian mendapat bantuan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Indramayu dalam pembuatan izin Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT), label halal maupun penilaian komposisi gizi dari Bongsang. Semua itu diperolehnya secara gratis.

Setelah berhasil menciptakan Bongsang, Hera memutuskan untuk menjadikannya sebagai ladang usaha. Namun, dia tidak memiliki lahan sendiri untuk menanam pohon pisang guna memperoleh bahan baku bonggol pisang. Untuk itu, dia merangkul para petani pisang di daerahnya untuk dijadikan sebagai mitra usaha.

Namun, hal tersebut tak semudah membalikkan telapak tangan. Hera harus melakukan pendekatan kepada para petani pisang, yang rata-rata adalah orang tua, agar tidak membuang bonggol pisangnya ke sungai. Dia terus memberikan pemahaman mengenai manfaat bonggol pisang dan dampak negatif dari membuang bonggol pisang sembarangan.

‘’Mereka kan selama ini tidak paham kalau bonggol pisang bisa diolah menjadi makanan,’’ tutur Hera.

Jumlah petani pisang yang bergabung menjadi mitra bagi Hera ada 15 orang. Mereka berasal dari sejumlah desa, di antaranya Desa Pringgacala, Juntinyuat, dan Benda.

Para petani itu menyetorkan bonggol pisang kepada Hera secara rutin enam kali dalam sebulan. Selain milik sendiri, bonggol pisang yang mereka setorkan itu adapula yang berasal dari petani lainnya. Jadi mereka merangkap juga sebagai pengepul. Dari petani di setiap desa yang menjadi mitra, rata-rata menyetorkan bonggol pisang seberat 100 kilogram. Harga bonggol pisang itu Rp 5 ribu per kilogramnya.

Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Dengan merangkul para petani pisang, Hera tak hanya bisa memperoleh bonggol pisang dengan mudah. Namun, dia juga bisa menyelamatkan lingkungan, terutama sungai, dari limbah bonggol pisang.

‘’Sama-sama menguntungkan. Bagi petani, bisa menambah penghasilan dari bonggol pisang yang biasanya dibuang. Saya juga terbantu dapat bonggol pisang untuk bahan baku Bongsang. Lingkungan pun terselamatkan dari banjir akibat sumbatan bonggol pisang. Banjir memang masih tetap terjadi, tapi tidak parah, hanya banjir biasa (semata kaki),’’ tutur Hera.

Salah seorang petani pisang yang menjadi mitra Hera, Daryono (56), menyatakan, kini tak pernah lagi membuang bonggol pisang setelah mengetahui manfaatnya. Dia memilih menjualnya kepada Hera.

‘’Lumayan dapat penghasilan tambahan dari bonggol pisang,’’ cetus Daryono.

Untuk penghasilan utama dari panen pisang, di kisaran Rp 5 juta. Dengan menjual bonggol pisang, ada tambahan penghasilan sekitar sepuluh persen.

Untuk membuat Bongsang, Hera mengawalinya dengan membersihkan bonggol pisang dari sisa-sisa tanah yang menempel. Setelah bersih, bonggol pisang direndam sehari menggunakan kapur sirih atau baking powder. Tujuannya, untuk menghilangkan getahnya.

Setelah itu, bonggol pisang digiling menggunakan mesin giling khusus. Dulu, Hera menumpang proses giling bonggol pisang pada tukang parutan kelapa. Baru dua hari, tukang kelapa memprotesnya karena mesin parutan kelapa menjadi rusak. Dia pun harus membayar ganti rugi.

‘’Akhirnya saya kepikiran untuk membuat mesin giling khusus. Saya rancang sendiri dengan belajar dari mesin parutan kelapa,’’ terang Hera.

Bonggol pisang yang telah diserut, berubah menjadi serbukan halus. Dari serbukan itulah, Hera kemudian membuat kerupuk dan keripik Bongsang dengan tambahan komposisi berupa tepung, bawang merah, bawang putih, ketumbar dan rempah-rempah pilihan.

Dalam sebulan, Hera mengolah sekitar 500 kilogram bonggol pisang dan menghasilkan kurang lebih 1.500 pieces Bongsang. Harga Bongsang yang dipatok kepada konsumen mencapai Rp 15 ribu per pieces. Namun bagi reseller maupun agen, harga yang diberikan bisa lebih murah lagi.

Hera memiliki reseller maupun agen yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia, mulai Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi maupun Papua. Bahkan, ada pula sejumlah pekerja migran Indonesia (PMI) yang bekerja di Hongkong, yang kerap memesan Bongsang.

‘’Untuk penjualan, 60 persen online dan 40 persen offline. Dalam penjualan online, saya lakukan lewat media sosial maupun marketplace. Sedangkan penjualan offline, saya titipkan di toko oleh-oleh,’’ kata Hera.

Dalam pengolahan Bongsang, Hera tidak melakukannya sendirian. Dia merekrut sejumlah remaja putus sekolah yang ada di lingkungannya. Ada lima orang yang kini direkrutnya menjadi karyawan, seluruhnya perempuan.

Kelima karyawannya itu ada yang hanya lulusan sekolah dasar (SD) dan tidak melanjutkan ke sekolah menengah pertama (SMP). Adapula yang sudah duduk di kelas 1 SMP, namun tidak melanjutkannya. Setelah tidak bersekolah, para remaja itu memilih menikah dan punya anak.

‘’Saya rekrut mereka jadi karyawan, biar tidak menganggur,’’ tukas Hera.

Kelima karyawan itu dilatih oleh Hera untuk mengolah bonggol pisang sejak awal hingga akhirnya menjadi produk Bongsang. Namun saat bekerja, mereka memiliki tugas masing-masing.

Seperti Tia contohnya. Salah seorang karyawan Hera itu bertugas di bagian pengemasan. Dia bekerja tiga hari per pekan sejak 2018 silam.

Dari pekerjaannya itu, perempuan yang putus sekolah saat kelas 1 SMP tersebut memperoleh upah di kisaran Rp 500 ribu – Rp 1,5 juta per bulan. Besaran upah itu tergantung banyak sedikitnya pesanan Bongsang.

‘’Lumayan bisa bantu kebutuhan keluarga,’’ tutur ibu muda yang memiliki dua anak tersebut.

Hal senada diungkapkan Sri Yuyun, karyawan Hera lainnya. Perempuan lulusan SD itu juga bekerja sejak 2018. Dia bertugas menggiling bonggol pisang.

‘’Dengan ikut bekerja mengolah bonggol pisang, saya sangat terbantu,’’ tukas ibu satu anak itu.

Tak hanya memproduksi Bongsang sendiri, Hera juga diundang ke berbagai daerah di Indonesia, seperti Cianjur, Aceh, Semarang dan Yogyakarta, untuk memberi pelatihan pengolahan bonggol pisang,. Hal itu setelah dia mempromosikan pengolahan bonggol pisang melalui media sosial.

Berkat ilmu yang ditularkannya, warga dari sejumlah daerah kini bisa juga menghasilkan produk olahan bonggol pisang. Salah satunya warga Cianjur, yang mengolah bonggol pisang menjadi bakso.

Dengan kiprahnya tersebut, Hera memperoleh penghargaan Satu Indonesia Award dari PT Astra Internasional Tbk. Meski demikian, dia mengaku, masih memiliki impian yang belum diwujudkan.

‘’Saya ingin membangun sentra bonggol pisang, biar bisa sekalian jadi tempat wisata,’’ tandas Hera.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement