REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, sinyal pemulihan ekonomi dunia sudah mulai terlihat di beberapa negara, termasuk Indonesia. Perekonomian global diproyeksikan akan tumbuh sebesar 4,3 persen sampai 4,9 persen year on year (yoy) pada 2022.
Ia menjelaskan, perekonomian Indonesia sendiri berhasil tumbuh positif pada Kuartal II dan III tahun lalu. Pertumbuhan tersebut diproyeksikan akan terus meningkat yang terlihat dari perkembangan beberapa indikator utama.
Guna mengakselerasi pertumbuhan ekonomi pada 2022, kata dia, diperlukan strategi khusus yang dapat diimplementasikan di dalam negeri dan dengan menyesuaikan kondisi yang terjadi pada perekonomian global. Pengendalian pandemi masih akan menjadi prioritas utama pada tahun ini, kesuksesan dalam mengatasi lonjakan akibat varian Delta di pertengahan tahun lalu akan menjadi pembelajaran berharga dalam mengatasi varian Omicron tersebut.
Maka, lanjutnya, momentum pemulihan ekonomi pun dapat terus dijaga melalui pengendalian kondisi sektor kesehatan. Selain pengendalian dari sisi kesehatan, pemerintah tetap melanjutkan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan alokasi anggaran Rp 414 triliun, yang akan mendorong front-loading dan melanjutkan elemen fleksibilitas untuk menyesuaikan situasi pandemi.
Program PEN juga akan meningkatkan daya beli masyarakat dan menjaga keberlangsungan sektor bisnis. “Aktivitas manufaktur dan indeks kepercayaan konsumen bertahan di level ekspansi. Hal ini sejalan dengan penjualan ritel yang juga meningkat akibat bertambahnya permintaan. Pelonggaran mobilitas masyarakat yang disertai penerapan protokol kesehatan tetap akan mendukung keberlanjutan pemulihan ekonomi tahun ini,” ujar Airlangga melalui keterangan resmi, Kamis (13/1/2022).
Fundamental ekonomi nasional pun, lanjutnya, diperkuat dengan perbaikan pada sektor eksternal dan keuangan. Neraca perdagangan mampu menghasilkan surplus untuk 19 bulan berturut-turut dan penanaman investasi di dalam negeri pun meningkat di tahun 2021.
Sementara, kebijakan moneter akomodatif menyebabkan perluasan penyaluran kredit dengan rasio kredit macet berada di kisaran 3 persen. “Optimisme investor terus dipertahankan, diperlihatkan dengan rating kredit Indonesia yang terjaga, meskipun berada dalam tekanan pandemi selama tahun kemarin. Pemerintah berkomitmen melanjutkan hal ini untuk mengakselerasi pemulihan ekonomi. Selain itu, koordinasi kebijakan makro ekonomi juga akan terus diperkuat untuk memberi sentimen positif di 2022, sehingga pertumbuhan ekonomi kita diproyeksikan dapat menyentuh angka 5,2 persen yoy di akhir tahun mendatang,” jelas dia.
Ia mengatakan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi diperlukan demi meningkatkan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan sosial masyarakat. Hal itu seiring target keluar dari Jebakan Kelas Menengah dalam jangka menengah-panjang.
“Reformasi struktural merupakan kunci keberhasilan transformasi ekonomi berkelanjutan,” ujar Menko Airlangga. Guna meningkatkan jumlah investasi, lanjutnya, pemerintah telah memperluas ranah investasi untuk memperluas penciptaan lapangan kerja baru.
Terdapat 246 bisnis prioritas yang akan terbuka untuk investasi dengan difasilitasi insentif fiskal dan non fiskal. Industri yang berorientasi ekspor dan berteknologi tinggi menjadi hal yang diutamakan agar dapat menjadi motor dalam pertumbuhan ekonomi nasional ke depannya.
“Indonesia telah sukses meraih beberapa komitmen investasi dari luar negeri. Misalnya, kerja sama Indonesia dan Uni Emirat Arab telah menghasilkan komitmen bisnis dan investasi sebesar 44,6 miliar dolar AS. Ditambah lagi investasi sebesar 9,29 miliar dolar AS yang berhasil didapatkan Indonesia dari COP26 Summit tahun lalu untuk memperkuat pembangunan berkelanjutan,” jelas Airlangga.
Hal tersebut sejalan dengan komitmen Indonesia dalam mempercepat transisi ke ekonomi hijau. Pemerintah juga sudah merilis Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 yang menjadi dasar hukum dalam mengimplementasikan mekanisme asesmen ekonomi untuk gas rumah kaca.
Di samping itu, pemerintah akan menerapkan pajak karbon untuk mengubah perilaku pelaku ekonomi untuk menjalankan aktivitas yang rendah karbon. “Pada tahun ini, Indonesia juga dipercaya menjadi Presidensi G20. Terdapat setidaknya tiga keuntungan yang dapat diraih Indonesia karena kepemimpinan ini, dalam hal ekonomi, perkembangan sosial, dan politik. Dari aspek ekonomi, salah satunya ditargetkan meningkatkan konsumsi domestik,” tuturnya.