REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Politik Universitas Al Azhar Ujang Komarudin menilai, kritik yang disampaikan Gerakan Muda Partai Golkar (GMPG) harus menjadi perhatian Golkar. GMPG mengeluhkan rendahnya elektabilitas Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto.
"Apa yang disampaikan GMPG merupakan autokritik yang bagus untuk Airlangga dan Partai Golkar," kata Ujang Komarudin dalam keterangan, Jumat (14/1).
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) itu mengatakan, minimnya tingkat keterpilihan Menteri Koordinator Perekonomian itu diyakini bakal berdampak terhadap citra partai Golkar di Pemilu mendatang.
Pernyataan senada disampaikan pengamat politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Usni Hasanudin. Menurut dia, kenyataan rendahnya elektabilitas Airlangga Hartarto harus jadi perhatian partai berlogo pohon beringin tersebut.
Hal itu, kata dia, terjadi lantaran pendekatan yang dilakukan untuk mengerek tingkat keterpilihan Airlangga sebagai calon presiden (capres) pada Pemilu 2024 belum memubahkan hasil. "Apa yang disampaikan GMPG itu kan sesuai dengan hasil survei sejumlah lembaga, capaian Partai Golkar, dan pengalaman yang mereka rasakan selama ini. Jadi itu tidak bisa dinafikan. Para elite Partai Golkar harusnya mulai mereformulasi strateginya jika memang ingin mengusung kadernya sebagai capres," katanya.
Menurutnya, ada berbagai cara yang dapat dilakukan Partai Golkar. Dia mengatakan, mengganti capres ataupun mengubah pendekatan dalam meraih simpati publik. Lanjutnya, kondisi saat ini berpotensi membuat Golkar tidak akan mengusung capres seperti pada Pilpres 2014 dan 2019.
"Jika terus memaksakan seperti ini, ya Partai Golkar akan kembali mengulang pengalaman dua pilpres (pemilihan presiden) sebelumnya," katanya.
Inisiator GMPG, Sirajuddin Abdul Wahab, sebelumnya menyebut, elektabilitas Airlangga memprihatinkan. Pangkalnya, tingkat keterpilihannya hanya 0,8 persen berdasarkan hasil survei Voxpol Center dan versi riset Indikator Politik Indonesia 0,2 persen.
Dia menambahkan, capaian tersebut berdampak sistematik terhadap reputasi Golkar. Padahal, sambung dia, pengurus dan kader di DPR sudah menebar baliho Airlangga di sejumlah daerah.
"Ini dapat dianggap bahwa masyarakat tidak tergerak memberikan dukungan. Jika ada kenaikan, maka kenaikan itu dapat dipastikan sebagai angka yang perlu dipertanyakan sumber dan kredibilitasnya," ujarnya, beberapa waktu lalu.
Apalagi, imbuh Sirajuddin, perolehan kursi di DPR berkurang 6 saat dipimpin Airlangga. Sekarang, Golkar hanya memiliki 85 kursi. Sedangkan sebelumnya, yang merupakan hasil Pemilu 2014, berhasil meraih 91 kursi.
Oleh karena itu, dia beranggapan, Airlangga tidak maksimal dalam "memanaskan" mesin partai. Pun demikian dengan pembagian kerja bidang-bidang, banyak penempatan kader yang tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
"Ini mengakibatkan absennya penyelenggaraan program kerakyatan Partai Golkar di masyarakat. Padahal, itu merupakan bagian langkah memperbaiki citra partai di mata publik," tutupnya.