REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Imam Syafii mengatakan bahwa semua jenis pinjaman berstatus dijamin atau ditanggung (madhmun), baik itu berupa hewan tunggangan, budak, rumah, maupun kain. Tidak ada perbedaan apapun antara semua itu.
Imam Syafii dalam kitab Al-Umm menjelaskan, siapa saja yang meminjamkan sesuatu lalu sesuatu itu musnah (hilang, mati, dan lainnya) di tangannya, baik itu terjadi disebabkan perbatannya maupun disebabkan perbuatan orang lain, maka dialah yang harus menanggungnya.
Berbagai barang tidak mungkin lepas dari kemungkinan untuk berstatus ditanggung atau tidak ditanggung. Adapun yang statusnya ditanggung adalah seperti pada kasus perampasan (ghasb) dan hal-hal lain yang seperti itu.
Adalah sama saja baik yang kebinasaannya tampak maupun tidak tampak. Semya itu menjadi tanggungan atas perampas dan mustaslaf, baik mereka berdua melakukan kejahatan maupun tidak.
Sementara yang statusnya tidak ditanggung adalah seperti pada kasus titipan (wadiah). Adalah sama saja baik yang kebinasaannya tampak, maupun tidak tampak. Adapun pernyataan yang dapat diterima adalah pernyataan mustauda (orang yang dititipi) dengan disertai sumpah darinya.
Kemudian orang yang berbeda pendapat seperti itu ditanya, “Dari manakah dia berpendapat seperti itu?”. Dia lalu menyatakan bahwa Syuraih telah melontarkan pernyataan atau pendapat seperti itu.
Orang itu bertanya, “Apa hujjah (alasan) kalian untuk menetapkan tanggungan pada pinjaman?”. Kami menjawab, “Rasulullah pernah meminjam dari Shafwan, lalu Rasulullah SAW bersabda, “Pinjaman yang harus ditanggung dan ditunaikan,”.