REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi menegaskan, kebijakan stabilisasi harga minyak goreng yang kerap berganti, ditempuh agar bisa menemukan langkah yang paling tepat dan saling menguntungkan. Ia pun menegaskan, kebijakan minyak goreng yang diputuskan Kemendag juga tidak ada intervensi dari pengusaha.
"Saya jamin, tidak ada pengusaha yang atur pemerintah. Saya mencoba untuk intervensi pasar sedemikian rupa supaya jangan kacaukan harga," kata Lutfi dalam Rapat Kerja bersama Komisi VI DPR, Senin (31/1/2022).
Lutfi menjelaskan, mahalnya harga minyak sawit atau crude palm oil (CPO) sebagai bahan baku minyak goreng bermula dari kebijakan bahan bakar biodiesel (B30) berbasis sawit yang meningkatkan permintaan dan mengerek kenaikan harga. Padahal sebelumnya, sepanjang 2017 hingga 2020 harga CPO dunia cenderung stabil. Meski begitu, Lutfi menekankan, kebijakan B30 tetap positif karena juga menguntungkan masyaakat Indonesia.
Lantaran harga minyak sawit tinggi juga menguntungkan bagi Indonesia karena sebagai produsen dan eksportir, Kemendag harus menempuh kebijakan stabilisasi minyak goreng secara perlahan.
"Jadi ketika saya mau ambil tindakan, itu pelan-pelan. Kita lihat dulu, (pengusaha) komitmen atau tidak," katanya.
Kebijakan paling pertama yang ditempuh yakni penyediaan minyak goreng murah kemasan sederhana seharga Rp 14 ribu per liter sebanyak 11 juta liter pada akhir 2021. Penyediaan itu langsung disiapkan oleh pengusaha secara sukarela. Namun, Lutfi mengungkapkan, realisasinya hanya sekitar 5 juta liter.
"Dari 11 juta liter, hanya lima juta iter yang dikerjakan. Oh begitu, oke saya naikkan lagi kebijakannya," kata dia.
Pemerintah kemudian memutuskan program subsidi minyak goreng kemasan sederhana sebanyak 1,2 miliar liter untuk enam bulan. Dana subsidi bersumber dari BPDPKS sebanyak Rp 3,6 triliun. Melalui subsidi itu, harga jual konsumen bisa dipatok Rp 14 ribu per liter dari harga normal yang lebih dari Rp 18 ribu per liter.
Belum sempat diterapkan, pemerintah kemudian menambah alokasi subsidi mejadi Rp 7,6 triliun untuk 1,5 miliar liter minyak goreng. Dengan penambahan tersebut, dapat diterapkan kebijakan minyak goreng satu harga seluruh jenis kemasan Rp 14 ribu per liter yang diumumkan mulai 19 Januari 2022.
Sepekan kemudian, dengan berbagai pertimbangan dan kendala yang dihadapi, Kemendag mengubah kebijakan yang menyentuh hulu dan hilir industri sawit maupun minyak goreng. Itu ditempuh dengan kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO).
Dua kebijakan itu untuk memastikan eksportir CPO telah menyuplai 20 persen dari volume ekspornya untuk industri minyak goreng dalam negeri diikuti dengan penetapan harga yang lebih rendah dari harga pasar internasional. Volume itu dinilai cukup juga tidak akan berdampak pada neraca perdagangan ekspor sawit.
"Jadi harga yang naik itu saya paksa turun kembali. Kebutuhan minyak goreng kita hanya 5,6 juta kilo liter, itu hanya 10 persen dari produksi CPO kita. Jadi kecil sekali," kata Lutfi.
Para ekspotir yang tak memenuhi DMO, kata Lutfi, juga tak akan mendapatkan izin ekspor dari pemerintah sehingga mau tak mau pasti menuruti aturan Kemendag. "Jadi kita kasih kesempatan industri untuk mengatur sedemikian rupa, tapi karena dia tidak bisa kerjakan, saya yang kerjakan (lewat kebijakan). Ini natural dan kejadian," kata dia.
Ia pun menegaskan segala kebijakan yang ditempuh Kemendag bukan ditujukkan untuk pencitraan. Pihaknya ingin agar seluruh keputusan pemerintah transparan dan terbuka serta memberikan manfaat positif bagi masyarakat.
"Saya tidak mau jadi apa-apa. Saya jadi Mendag saja sudah pusing. Jadi percayakan sama saya, tidak ada yang bisa mengatur saya. Semua saya buka," ujarnya.