REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Divisi Humas Mabes Polri merevisi kalimat dalam unggahan soal pengepungan masjid di Wadas oleh polisi. Namun, Polri tetap mengategorikan kabar itu sebagai hoaks.
Pada kalimat terdahulu disebutkan, "Faktanya pada saat pengukuran tanah di depan masjid, segelintir warga membawa sajam dan melempar batu."
Sementara pada kalimat perbaikan dijelaskan, "Faktanya pada saat pengukuran tanah, massa berkumpul di depan masjid, segelintir warga membawa sajam dan melempar batu."
Perbedaan mendasar adalah soal pengukuran tanah di depan masjid. Pada unggahan terbaru pengukuran tanah tidak disebut di depan masjid. Kata di depan masjid ditaruh sebagai tempat massa berkumpul. Ada pemenggalan dan penaruhan kata yang salah.
Sementara bagian yang lainnya tetap sama. Beredarnya informasi di media sosial terkait aparat kepolisian mengepung warga berada di dalam masjid adalah hoax atau tidak benar.
"Warga yang lain mengejar dan berlari ke dalam masjid memakai celana pendek. Aparat kepolisian justru mengamankan orang di dalam masjid dari serangan warga yang mengejar, Desa Wadas, Selasa (8/2/2022)."
Sementara, seorang warga menjelaskan kronologi terkait insiden di masjid Wadas. Salah seorang warga Desa Wadas, Siswanto, menceritakan, semua bermula pada Ahad sore ketika warga melihat banyak polisi bersiap di Polsek Bener dan belakang Polres Purworejo. Selain itu, mereka melihat Polisi membuat tenda-tenda.
Saat itu, warga masih bingung mereka ingin ke Wadas atau ada keperluan lain. Salah satu warga yang menghubungi Polres Purworejo, mendapatkan jawaban jika mereka cuma ingin kunjungan ke Purworejo, tidak ada informasi mengukur tanah.
Pada Senin pagi, beberapa warga melihat Polisi yang patroli di desa-desa tetangga sekitar Desa Wadas. Sebab, pos-pos polisi tidak pernah ada di Desa wadas, mereka rapat di luar Desa Wadas dan rumah-rumah makelar yang ada di dekat Desa Wadas.
Ia menekankan, mereka tidak ada kepentingan di Desa Wadas. Hanya ada beberapa warganya yang mempunyai tanah di Wadas, tapi sangat sedikit, tidak sampai 20-30 orang. Setelah itu, warga Desa Wadas tiba-tiba diminta kumpul di Masjid Krajan.
Jadi, warga secara spontan kumpul di Masjid Krajan dan sekitar 10.00 WIB Polisi masuk ke Wadas. Awalnya, yang masuk ke Wadas brimob-brimob membawa senjata dan motor, melepaskan poster-poster penolakan penggusuran di sekitar Desa Wadas.
Setelah itu, Polisi bersenjata lengkap membawa tameng, kemudian orang-orang BPN dan disusul orang-orang yang pro pengukuran. Di pos-pos sendiri, ibu-ibu memang biasa berkumpul untuk mengolah bambu apus menjadi kerajinan besek untuk dijual.
"Alatnya golok untuk belah bambu, pisau untuk menyirat, gergaji untuk memotong bambu, itu diambil semua sama Polisi, Polisi menganggap warga membawa senjata tajam," ujar Siswanto.
Padahal, dari pagi ibu-ibu sudah mengerjakan itu, tapi karena diminta kumpul ke Masjid Krajan alat-alat itu ditinggalkan. Sekitar 11.00 WIB, Polisi mendatangi Masjid Krajan dengan kemungkinan jumlah ratusan karena seisi jalan sampai penuh.
Baca juga : Insiden Wadas, PBNU Siap Dampingi Rakyat dan Membantu Pemerintah
Sampai pada waktu Zhuhur, Polisi mengaku ingin shalat Zhuhur dan mengajak warga untuk mengambil air wudhu. Setelah ke luar, ternyata warga langsung dimasukkan ke mobil-mobil polisi. Siswanto menegaskan, tidak ada ricuh apalagi provokasi.
Sebab, ia menambahkan, warga Desa Wadas yang dibawa yang sedang duduk-duduk, mujahadah, tapi tiba-tiba ditarik dimasukkan ke mobil-mobil Polisi. Siswanto menilai, jika ada warga yang berontak sangat lumrah karena tiba-tiba ditangkap.
"Jadi, kalau dibilang warga membawa senjata tajam, warga melakukan provokasi, ya tidak ada, orang sedang mujahadah, tidak ada," kata Siswanto kepada wartawan Republika.co.id, Wahyu Suryana.
View this post on Instagram