REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Peristiwa Isra Miraj merupakan peristiwa besar bagi umat Islam. Peristiwa ini membawa pesan yang langsung disampaikan Allah kepada Rasulullah SAW, yakni perintah shalat sebagai tiang agama.
Pada 27 Rajab 1442 Hijriyah, umat Islam memperingati sebuah peringatan besar bernama Isra Miraj. Perjalanan Nabi melintasi Sidratul Muntaha ini diabadikan dalam sejumlah dalil Alquran, salah satunya dalam Alquran Surah Al-Isra ayat 1, “Subhanalladzi asraa bi-abdihi lailan minal-masjidil harami ilal masjidil aqsa alladzi baarakna haulahu linuriyahu min aaayatina innahu huwa assami’ul-bashir,”.
Yang artinya, “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui,”.
Perjalanan melintasi Masjid Al Haram ke Masjid Al Aqsa hingga Sidratul Muntaha itu apakah melibatkan jasad Nabi atau hanya ruhnya saja?
Muhammad Husain Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad menjabarkan, peristiwa Isra Miraj mengacu pada keterangan yang disampaikan Ummu Hani dan juga Aisyah. Sayyidah Aisyah bahwkan mengatakan, “Jasad Rasulullah SAW tidak hilang, namun Allah menjadikan Isra itu dengan ruhnya,”.
Sebaliknya, orang yang berpendapat bahwa Isra Miraj Nabi melibatkan jasad Nabi berlandaskan pada apa yang pernah dikatakan Nabi Muhammad SAW. Bahwa dalam Isra itu beliau berada di pedalaman, sedangkan Miraj ke langit hanya melibatkan ruhnya saja.
Di samping kedua pendapat tersebut, ada juga pendapat lainnya bahwa baik Isra maupun Miraj yang dilakukan Nabi keduanya melibatkan jasad Nabi. Polemik seputar perbedaan pendapat ini terjadi di kalangan ahli ilmu kalam.