REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) menyampaikan berapa sebenarnya biaya yang harus dibayar setiap calon jamaah haji. Hal ini sebagai jawaban terkait benar atau tidaknya ada kenaikan biaya haji tahun 2022.
Anggota Badan Pelaksana BPKH bidang Investasi dan Kerja Sama Luar Negeri Hurriyah El Islamy mengatakan, menurut data tahun 2019, saat Indonesia terakhir menyelenggarakan haji sebelum pandemi. Biaya haji yang sesungguhnya perjamaah itu sebesar Rp 70-72 juta, sementara uang yang dibayarkan jamaah haji untuk berangkat sebesar rata-rata Rp 35 juta.
Dari 35 juta itu pula, jamaah haji menerima 1.500 riyal uang tunai sebagai living cost. Dengan demikian, secara efektif, jamaah haji reguler yang berangkat di tahun 2019 sebenarnya membayar biaya kurang dari 30 juta.
"Angka ini masih di bawah biaya tiket pesawat," kata Hurriyah saat dihubungi Republika, Sabtu (19/2/2022).
Padahal kata Hurriyah untuk dapat melaksanakan ibadah haji di Tanah Suci, seseorang memerlukan tempat tinggal, makanan, kendaraan dan jasa-jasa lain terkait kebutuhan jamaah sebelum berangkat, saat di sana dan ketika kembali ke Tanah Air. Dalam UU 8 tahun 2019 tentan Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah telah dinyatakan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) digunakan untuk beberapa pembiayaaan.
Di antara pembiayaan yang harus dibayar BPIH di antaranya penerbangan, pelayanan akomodasi, pelayanan konsumsi, pelayanan transportasi, pelayanan di Arafah, Mudzdalifah, dan Mina, perlindungan. Serta biaya pelayanan di embarkasi atau debarkasi, keimigrasian, premi asuransi dan perlindungan lainnya, biaya hidup, biaya pembinaan jamaah haji di Tanah Air dan di Arab Saudi dan biaya pengelolaan BPIH.
"Dengan kondisi Pandemi, besar kemungkinan perlu dipastikan dana tersedia untuk biaya karantina baik saat ketibaan di Arab Saudi mau pun saat kembali ke Tanah Air," katanya.
Hurriyah mengatakan, sebelum diberlakukan prokes yang konsekuensinya jumlah orang perkamar dikurangi, jumlah orang di atas bus dibatasi, penyajian makanan harus memenuhi standard tertentu yang tentunya semua itu meningkatkan biaya. Sejatinya jamaah haji reguler yang berangkat sudah diberikan subsidi atas biaya riil haji.
"Bisa dibayangkan berapa biaya per kepala saat ini saat semua ketentuan prokes tersebut harus dipenuhi?" katanya.
Belum lagi faktor inflasi pasar dan tambahan biaya dari nilai tukar, mengingat jamaah membayar dalam mata uang rupiah. Sementara biaya-biaya yang dikeluarkan lebih dari 86 persen dilakukan dalam valas baik Dolar mau pun Riyal.
Di tahun 2019, USD ke rupiah baru sekitar Rp 14.046 dan asumsi yang digunakan saat itu RP 14.200. USD saat ini sudah di Rp 14,352 yang artinya masih tinggi sebesar Rp 152 dari asumsi di tahun 2019 atau Rp 306 dari nilai riil.
"Itu perdolarnya. Mari kita kalikan angka tersebut dengan jumlah besaran biaya dalam dolar dan kemudian kalikan lagi dengan jumlah jemaah haji kita yang berangkat," katanya.
Artinya, bahkan kalau tidak ada inflasi pun, tidak ada pandemi pun, dari sudut pandang rupiah akan tetap ada peningkatan besaran biaya penyelenggaraan ibadah haji hanya dari nilai tukar kurs saja. Namun kenyataannya kita juga menghadapi peningkatan biaya baik dikarenakan perbaikan aspek service, berubahnya ketentuan mengenai VAT (berbanding tahun 2019) dan peningkatan harga dikarenakan inflasi mau pun dikarenakan pemenuhan aspek protokol kesehatan dikarenakan pandemi yang masih berlangsung saat ini.
“Pandemi mengurangkan jumlah jamaah yang dapat melakukan haji. Hal ini tentunya berdampak kepada harga karena mengecilkan economies of scale dari penyediaan jasa yang diperlukan," katanya.
Misalnya kata dia, biaya haji tahun lalu, di tahun 2021, saat jamaah haji dibatasi hanya kepada para warga negara dan mukimin yang sudah ada di Saudi Arabia. Untuk prosesi haji selama 5 sehingga 6 hari saja, biaya pertengahan yang diperlukan lebih dari 16.500 riyal atau lebih dari Rp 63 juta. Sehingga kalau kita rata-ratakan biaya perhari sekitar Rp 10.500.000.
"Ini harga di Saudi, harga tahun 2021. Mengingat hal tersebut, ada baiknya dilakukan sosialisasi dan diseminasi berita secara transparan agar para calon jamaah haji yang Insya Allah akan berangkat tahun ini mengerti dengan sangat baik mengenai kondisi finansial sesungguhnya, termasuk komponen-komponen biaya," katanya.
Sosialisasi ini kata dia, diperlukan agar tidak terjadi kesalahfahaman apalagi kalau sampai bersangka buruk mengenai aspek biaya sedangkan ibadah yang akan dijalankan adalah haji ke Tanah Suci. Hurriyah menegaskan sudah ada ketentuannya, bahwa penetapan biaya haji dilakukan pemerintah pusat setelah usulan yang disampaikan kepada DPR RI disetujui.
"Saya yakin, semua pihak akan berusaha yang terbaik dan memberikan yang terbaik untuk jamaah haji Indonesia karena ikhtiyar yang kita lakukan terkait hal ini bernilai ibadah," katanya.
Untuk itu dia megajak semua pihak menunggu hasil akhir keputusan pemerintah dan DPR terkait berapa biaya penyelenggaraan ibadah haji tahun 2022. BPKH akan mengikuti apa yang dimina Pemerintah dan DPR terkait biaya ibadah haji.
"Jadi kita serahkan kewenangan kepada yang berwenang, kita sami’na waátha’na sambil berdoa agar ada haji tahun ini, agar jamaah haji dari NKRI dapat menunaikan rukun Islam yang kelima di Tanah Suci tahun ini. Aamiin ya Rabbal Alamiin," katanya.