REPUBLIKA.CO.ID, Sebagai sosok yang dituakan di Lengkong Sumedang (Tangerang), Raden Aria Wangsakara tidak hanya dekat dengan kalangan elite Kesultanan Banten. Sang imam pun hadir di tengah masyarakat setempat sebagai ulama yang penuh keteladanan.
Sementara itu, VOC kian nyata berambisi memonopoli perdagangan rempah-rempah di Jawa. Belanda melakukan provokasi dengan cara memblokade kapal-kapal dagang dari Maluku sehingga tidak dapat berlabuh di Banten. Setelah dilawan, Kompeni mulai mengendurkan perangainya.
Namun, VOC lagi-lagi berulah. Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa, Kompeni memaksakan ke hendak untuk membangun jalan akses yang me nembus Banten via Cibodas dan Sangiang. Rencana ini ditentang Tumenggung Kuridilaga, yang wilayahnya diterobos jalan sepanjang kira- kira 45 km itu.
Maka, pecahlah pertempuran antara pasukan Kuridilaga dan tentara bayaran Kompeni. Dalam peristiwa itu, Wangsakara dan Kesultanan Banten berpihak pada sang tumenggung.
Kompeni kian terdesak. Dari Batavia (Jakarta), VOC meminta gencatan senjata. Banten mengutus putra Wangsakara, Raden Aria Raksanagara, di meja perundingan. Bagi Banten, kemenangan sudah diraih. Untuk memperingatinya, pada 12 Desember 1654 dibangunlah tugu peringatan di sebelah barat Sungai Cisadane.
Secara tidak langsung, prasasti itu kian menguatkan mandat dari Sultan Ageng Tirtayasa kepada Wangsakara untuk menguasai Tangerang, yakni meliputi sebelah barat Cisadane hingga Cidurian.
Namun, sejak 1670-an Belanda kian intens melemahkan Banten. VOC mendeteksi, kalangan istana bisa diadu domba. Kompeni menghasut putra Ageng Tirtayasa, Sultan Abdul Qahar, untuk memberontak terhadap ayahnya itu.
Pada 1680, Abdul Qahar bahkan mengirimkan ucapan selamat atas jabatan gubernur jenderal baru Belanda, Cornelis Speelman. Tindakan itu tentunya menyakiti perasaan rakyat Banten dan lebih-lebih bapaknya sendiri.