REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Petani kopi di Aceh Tengah, khususnya para anggota Koperasi Produsen Gayo Highland, berdiskusi langsung dengan Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki. Diskusi terkait pengembangan kualitas produk dan pemasaran kopi.
Dalam dialog yang juga dihadiri Deputi Bidang Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop) Ahmad Zabadi dan Dirut Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) KUMKM Supomo, muncul beberapa masalah dan kendala yang kerap dihadapi para petani kopi. Di antaranya, mengenai musim panen kopi yang kerap bersamaan dengan turunnya musim hujan, sehingga kualitas kopi yang tengah dijemur menurun.
"Kami membutuhkan Rumah Jemur Kopi atau Green House agar harga kopi di pasar, baik domestik maupun ekspor, tetap terjaga bagus," ungkap salah seorang perwakilan petani. Masalah lain, Ketua Koperasi Produsen Gayo Highland Abdullah menambahkan, terkait masalah ekspor.
Produksi kopi dari 700 lebih petani dengan sekitar total lahan 1000 hektar, sudah terbilang besar, yaitu sebesar 54 Lot. Hanya saja, Abdullah mengakui, marjin yang diterima koperasi (dan para petani kopi) masih belum maksimal karena ekspor masih melalui perantara atau mitra.
"Padahal, kita tinggal selangkah lagi untuk bisa melakukan ekspor sendiri. Kami mohon dukungan dari Kementerian Koperasi dan UKM untuk mewujudkan itu," tutur Abdullah dalam keterangan resmi, Jumat (25/2).
Menanggapi beberapa kendala tersebut, Teten memberikan beberapa solusi strategis bagi petani kopi dan koperasi kopi di Aceh Tengah agar mampu menembus pasar global. "Pertama, saya mengusulkan yang berhubungan langsung dengan buyer bukan petani, melainkan koperasi petani kopi," ujar Teten.
Menkop menyebutkan, arahan Presiden Jokowi memperkuat sektor pangan nasional dengan membangun Corporate Farming di seluruh Indonesia. Jadi tidak ada lagi petani-petani perorangan berlahan kecil yang berhubungan dengan buyer.
"Harus bergabung ke koperasi agar memiliki kualitas produk yang baik, efisien, dan masuk skala ekonomi," katanya. Kedua, sambung dia, koperasi-koperasi petani kopi (primer) yang ada di Aceh Tengah, bergabung menjadi satu membentuk satu koperasi sekunder.
"Dengan begitu, produk kopi asal Aceh Tengah memiliki satu pintu untuk masuk pasar ekspor," kata Teten. Maka, ia pun berharap kualitas dan produktifitas kopi asal Aceh Tengah terus ditingkatkan. Dirinya mencontohkan Vietnam yang mampu memproduksi kopi sebanyak 2 ton per hektar, dengan kualitas bagus.
"Kami akan terus mendukung upaya untuk meningkatkan kualitas produk dan konsolidasi produk kopi," tegas Teten. Demi memperkuat permodalan koperasi tersebut, ia memberikan solusi untuk memanfaatkan dana bergulir dari LPDB-KUMKM, yang bunganya super murah.
Tujuannya, agar koperasi bisa memiliki kemampuan untuk membeli produk langsung dari petani. Termasuk dalam pengadaan Rumah Produksi Bersama. "Sedangkan untuk onfarm-nya, yakni para petaninya, bisa memanfaatkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) kluster," tegas dia.
Menkop pun mengusulkan supaya petani di Aceh Tengah mampu mengombinasikan lahan untuk menanam kopi dan juga pisang. Dalam arti, ada substitusi musim tanam dan panen, antara kopi dengan pisang.
"Hasil kajian FAO menyebutkan pola tumpang-sari seperti itu, antara kopi dan pisang. Itu mampu meningkatkan pendapatan petani atau berpendapatan jauh lebih baik ketimbang hanya menanam satu jenis tanaman saja," tuturnya.