REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH -- Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh mengadakan Rapat Koordinasi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota se Provinsi Aceh di Banda Aceh, Selasa (1/3). Rakor tersebut mengundang narasumber Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University , Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS.
Salah satu yang disorot oleh Prof Rokhmin adalah strategi pengelolaan perikanan danau laut tawar yang menyejahterakan dan berkelanjutan. Ia menyebutkan, danau laut tawar merupakan danau terluas di Aceh (5.761 ha), terletak di Dataran Tinggi Gayo, Kabupaten Aceh Tengah. Di sana terdapat jenis ikan endemik, yakni ikan depik (Rasbora tawarensis) dan ikan kawan (Poropuntius tawarensis). Rata-rata kelimpahan ikan sebesar 46,2 kg/ha, total potensi produksi ikan sebesar 266,16 ton/tahun. Pada 2019, pemanfaatan potensi tersebut telah mencapai 95 persen.
Prof Rokmin mendorong Aceh memaksimalkan potensi danau laut tawar. Ia menjabarkan beberapa hal terkait pengelolaan perikanan danau laut tawar yang menyejahterakan dan berkelanjutan. Yakni, penataan ruang (zonasi) perairan danau laut tawar: minimal 30 persen untuk kawasan lindung (reservat); 15 persen untuk perikanan budidaya KJA (keramba jaring apung); kawasan penangkapan ikan; dan lainnya. Kemudian, tingkat penangkapan ikan < 80 persen MSY (Maximum Sustainable Yield).
“Penggunaan teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan, dan penerapan beberapa teknik manajamen perikanan tangkap: closed seasons, closed areas, pembatasan ukuran mata jaring, community-based management, dan lain-lain,” kata Prof Rokhmin yang juga ketua umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI), dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Ia juga mengingatkan pentingnya konservasi biota endemik (ikan depik, ikan kawan) dan lobster air tawar. Lalu, lokasi KJA untuk budidaya ikan pada kedalaman lebih dari 50 m. Selain itu, intensitas budidaya ikan (padat penebaran, Food Convertion Ratio/FCR) lebih kecil dari daya dukung lingkungan. “KJA harus dari bahan yang kuat, indah, dan layout serasi dan indah supaya bisa dikembangkan pariwisata berbasis perikanan budidaya (aquaculture-based tourism),” ujar Prof Rokhmin yang juga penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2020 – 2024 .
Di akhir pemaparannya, Prof Rokhmin menyampaikan hal-hal yang perlu dikerjakan oleh Pemprov Aceh. Yakni, penyusunan rencana pembangunan, investasi, dan bisnis sektor kelautan dan perikanan oleh setiap kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Kemudian, penyusunan proposal pembangunan KP sesuai kebutuhan di setiap kabupaten/kota di Provinsi Aceh.
“Berdasarkan pada butir-1 dan butir-2, menarik dana APBN (KKP, Kemen PUPR, Kemenhub, Kemenperin, dan lain-lain dan APBD propinsi; dan menarik investor yang kredibel,” ujarnya.
Tidak kalah pentingnya, kata Prof Rokhmin, menghadirkan Iklim investasi dan kemudahan berbisnis (ease of doing business) yang kondusif dan atraktif: perizinan, keadilan dan kepastian hukum, konsistensi kebijakan, keamanan berusaha, naker, RTRW, infrastruktur, dan lain-lain.
Jika ekonomi Kelautan dan Perikanan (KP) dikembangkan dan dikelola dengan menggunakan inovasi Iptek dan manajemen mutakhir (seperti yang saya uraikan), maka sektor-sektor KP akan mampu berkontribusi secara signifikan dalam mengatasi sejumlah permasalahan bangsa (khususnya pengangguran, kemiskinan, ketimpangan sosek, dan disparitas pembangunan antar wilayah), dan secara simultan dapat mengkselerasi terwujudnya Provinsi Aceh Emas dan Indonesia Emas paling lambat pada 2045,” ujar Prof Rokhmin Dahuri.