Sabtu 05 Mar 2022 06:20 WIB

KPAI Soroti Banyaknya Kekerasan Seksual Anak Secara Online

Banyak anak dan orang tua yang belum mendapat literasi dengan baik.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Agus Yulianto
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati (kanan) menjelaskan, kekerasan seksual secara daring tidak memiliki batas ruang dan waktu.
Foto: Yogi Ardhi/Republika
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati (kanan) menjelaskan, kekerasan seksual secara daring tidak memiliki batas ruang dan waktu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kekerasan seksual terhadap anak masih menjadi permasalahan yang belum bisa diselesaikan secara tuntas. Terlebih di tengah pandemi, banyak faktor yang mendukung tindakan itu.

Selain pandemi, kehidupan di era digital juga menjadi salah satu faktor terjadinya kekerasan seksual khususnya secara online. Banyak anak dan orang tua yang belum mendapat literasi dengan baik sehingga belum bisa sepenuhnya membedakan antara dunia maya dan nyata.

“Kekerasan tidak hanya terjadi di dunia nyata, tetapi juga di dunia maya. Perlu adanya Undang-Undang Perlindungan Anak di dunia siber,” kata Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati dalam webinar yang diadakan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), Jumat (4/3)

Rita menjelaskan, kekerasan seksual secara daring tidak memiliki batas ruang dan waktu. Banyak kasus dengan motif berbeda yang terjadi. Misal, anak main game FF untuk membeli diamond. Untuk mendapatkan diamond, anak perempuan harus mengirim foto tidak sopan atau tidak berpakaian. Sayangnya, kasus dengan motif itu banyak memakan korban.

Dia juga menjelaskan, motif lain yang terjadi di jejaring sosial. Misal, anak SD yang membuat akun Instagram dan ia mengikuti akun gurunya dan diminta gambar-gambar porno termasuk yang menyakiti dirinya. Anak tersebut tidak mengetahui akun guru yang diikutinya bukan akun asli gurunya.

Ironinya, banyak kasus kekerasan seksual anak yang terjadi disebabkan minimnya informasi soal pelatihan atau pengasuhan anak di era digital. Ada 66,2 persen orang tua tidak mengetahui informasi pengasuhan anak. Hanya 38,8 persen yang tahu dan sebagian besar informasi didapatkan dari media sosial, sebanyak 56,2 persen.

Sementara itu, atuaran anak dalam penggunaan gawai juga belum dilakukan secara maksimal dan benar. “Aturan anak dalam penggunaan gawai, hanya 21 persen yang menerapkan sedangkan sisanya 79 persen tidak mempunyai aturan gawai,” ucapnya.

Masalah ini perlu diselesaikan dengan komitmen penggunaan gawai, seperti kepemilikan gawai, waktu penggunaan, lokasi penggunaan, konten yang dilihat, pendampingan atau kontrol. “Penting menjadi teman anak di dunia siber. Karena ketika orang tua menjadi teman yang baik bagi anak maka anak juga akan terlindungi dan tidak akan mencari teman lain di dunia maya. Itu juga menjadi perhatian orang tua yang tidak bisa digantikan di era digital ini,” tambahnya. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement