Sabtu 05 Mar 2022 14:14 WIB

Rusia Belajar dari China dan Korea Utara Melawan Presiden Badut Ukraina

Ukraina lebih kental kepada Rusia, sangat rentan terhadap perpecahan pemberontakan

Red: Muhammad Subarkah
Sisa-sisa rudal Rusia terletak di tanah di Kyiv, Ukraina, Kamis, 3 Maret 2022. Rusia telah meluncurkan serangan luas ke Ukraina, menghantam kota dan pangkalan dengan serangan udara atau penembakan.
Foto: AP/Andriy Dubchak
Sisa-sisa rudal Rusia terletak di tanah di Kyiv, Ukraina, Kamis, 3 Maret 2022. Rusia telah meluncurkan serangan luas ke Ukraina, menghantam kota dan pangkalan dengan serangan udara atau penembakan.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nazar EL Mahfudzi, pengamat politik univ Muhammadiyah Yogyakarta 

Ketakutan China (dapat disebut: Beijing dan Tiongkok)  yang terbesar dalam melakukan invasi militer ke Taiwan (dapat disebut: Taipeh) adalah berlakunya sanksi ekonomi dari AS dan Eropa, walaupun  kekuatan nuklir  China yang dapat mengancam opsi itu untuk mencapai ambisi internasionalnya. Begitu juga dengan Korea Utara lebih memilih memihak secara tegas ke Rusia karena mempunyai nilai tawar perimbangan kekuatan sebagai bentuk perlawanan terus mengembangkan teknologi nuklir

Baca Juga

Hegemoni dan arogansi supremasi militer menjadi sikap sewenang-wenang AS untuk memberikan sanksi ekonomi, sementara Rusia memiliki kepentingan kedaulatan keamanan. AS dan Eropa menggunakan standard ganda yang dimainkan untuk memperkeruh situasi di Ukraina dengan melakukan provokasi serangan-serangan warga sipil melalui kelompok  neo Nazi, pola yang dikembangkan AS dalam membangun pemberontak dan terorisme didasari distorsi kepemimpinan dan kekuasaan (dapat disebut : “Presiden badut” ) karena berpaling tidak lagi mendukung Rusia.Memang sangat janggal kalau kelompok neo Nazi  “Banderites” beraliran  fasis di Ukraina justru mempengaruhi kebijakan luar negeri Ukraina mendukung Israel diatas tanah Palestina, sementara berteriak minta tolong karena agresi militer Rusia.

Gertakan AS dan Eropa memberikan sangsi ekonomi kepada Rusia sebagai langkah liberal kapitalistik untuk membantu Ukraina. NATO tidak dalam opsi memberikan bantuan kekuatan militer berperang melawan Rusia, karena menilai perang nuklir hanya merugikan AS dan Eropa dengan harga yang sangat mahal, terjadinya resesi ekonomi Eropa dan AS  juga dari pertimbangan geostrategis dampak lingkungan yang ditimbulkan. 

Ukraina bukan negara kaya penghasil minyak dan gas bumi untuk patut di pertahankan, apalagi tidak memiliki Nuklir untuk dapat menyuplai kebutuhan teknologi militer yang secara finansial yang menjadi beban NATO. Merujuk pada negara Yunani yang bersolek untuk bisa ikut dalam Uni Eropa ternyata hanya negara miskin yang gagal mengikuti pola-pola negara maju beraliran kapitalis. DNA Ukraina lebih kental kepada Rusia, sangat rentan terhadap perpecahan pemberontakan di beberapa wilayah.

Bagaimana China Melakukan Serangan ke Taiwan ?

China tidaklah mudah menggunakan kekuatan militer ke Taiwan apalagi menggunakan ancaman nuklir yang berdampak berbagai wilayah di China hingga efeknya justru mengganggu program memiliki proyek “One Belt One Road” (OBOR) atau yang kini telah direvisi menjadi proyek Belt Road Initiative (BRI). China hanya ingin mengambil sumber-sumber industri teknologi dari Taiwan yang telah banyak mengadopsi teknologi Eropa dan AS, namun kepentingan kemerdekaan Taiwan menjadikan China menjadi terganggu dalam melakukan perdagangan yang menjadi sumber kekuatan imperium digital teknologi, produsen seluruh market pasar industri komunikasi dan elektronik chip komputer terbesar dunia. 

Market pasar industri China dimulai sejak tahun 2017-2018 mengekspor semikonduktor chip sebesar US1705.91¥ miliar yang bisa menutupi impor minyak mentah negara China, dibangunlah kemitraan teknologi antara perusahaan China dan Taiwan. AS mencium ini sebagai perang dagang yang tidak sehat dan sangat merugikan perdagangan karena ketergantungan berbagai negara dunia.

 

.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement