Isra Mi’raj: Bukti Riil Rasulullah Saw Bukanlah Makhluk Mistikus
Oleh: Faiz Amanatullah
Di mana-mana kita sedang sibuk memperingati Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad Saw. Maksud peringatan ini tidak lain ialah untuk mempertebal iman dan memperkuat taqwa kita kepada Allah Swt.
Tetapi peristiwa Isra Mi’raj itu terdengarnya begitu mustahil, begitu aneh, sama sekali bertentangan dengan akal biasa, sehingga mungkin yang tadinya mau masuk Islam mengurungkan niat dan yang tadinya telah masuk Islam menjadi murtad kembali.
Memang peristiwa Isra Mi’raj itu merupakan ujian yang berat bagi keimanan kita, dan oleh Allah Swt juga sengaja dijadikan ujian yang berat bagi kaum muslimin, sebagaimana yang Allah firmankan dalam (Q.S. Al-Isra’: 60):
“Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon yang terkutuk (Zaqqum) dalam Al-Qur’an. Dan Kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah kedurhakaan bagi mereka.”
Pemandangan yang dimaksudkan dalam ayat diatas ialah berbagai peristiwa yang disaksikan oleh Rasulullah Saw. dalam perjalanan beliau selama Isra Mi’raj yang diperlihatkan oleh Allah dengan tujuan menambah rasa takut dan taqwa pada orang yang melihatnya (yaitu Rasul) dan kepada pengikut-pengikut beliau yang mendengar dan membaca cerita beliau itu.
Begitu juga pohon kayu yang bernama Zaqqum, yang tumbuh di dasar neraka Jahannam dan yang buahnya luas biasa pahit, dipergunakan Allah sebagai ibarat dan peringatan untuk menambah taqwa manusia. Tetapi semua peringatan yang kita namakan dalam bentuk simbol atau permisalan itu, hanya menimbulkan ejekan dan cemoohan serta menambah kekafiran dan kedurhakaan pada kebanyakan manusia yang mendengar atau membaca, tetapi tidak dapat mengalami dan menyaksikan sendiri kejadian-kejadian yang sesungguhnya di belakang simbol itu.
Kala itu di zaman Rasulullah Saw sudah banyak terdapat manusia yang segera membantah kebenaran cerita Nabi tentang Isra Mi’raj -diantaranya yang paling tidak percaya adalah Abu Jahal- maka di zaman sekarang, di mana kemajuan ilmu pengetahuan hanya membantu melenyapkan kepercayaan akan kebenaran dan pentingnya ajaran agama, niscaya lebih banyak lagi akan terdapat manusia yang memandang berita Isra Mi’raj itu sebagai dongeng untuk anak kecil belaka.
Ada sebuah hikmah yang mayoritas umat Islam mungkin tidak menyadari itu. Padahal setiap tahunnya kita selalu memperingatinya, bahkan sudah dijadikan sebagai hari libur nasional ketika hari itu tiba. Peristiwa Isra Mi’raj menggambarkan bahwa Nabi Muhammad Saw bukanlah seorang penyihir sebagaimana yang dikatakan oleh kaum kafir Quraisy pada saat itu, tetapi Nabi Muhammad adalah orang yang humanistik.
Apabila kita pikirm bahwa Nabi Muhammad tidak akan mungkin lagi turun ke bumi, karena beliau sudah melihat dan berjumpa langsung dengan dzat Allah dan merasakan manisnya surga. Tetapi nyatalah karena panggilan hatilah dan jiwa humanisnya Nabi Muhammad Saw turun kembali ke bumi untuk menyampaikan ajaran transcendental (ketuhanan/ilahiyah) kepada ummat manusia.
Dalam proses pendidikan kepada umatnya, Nabi Muhammad mengajarkan menggunakan media sholat yang mengandung makna persatuan dan kepemimpinan. Pesan utama yang disampaikan dari peristiwa Isra Mi’raj adalah tentang perintah sholat. Sebagaimana yang biasa kita lakukan, bahwa dalam sholat berjama’ah mengandung makna persatuan dan kepemimpinan.
Mengapa sebaiknya shalat dilaksanakan secara berjama’ah karena pada shalat berjama’ah dipimpin oleh seorang imam. Maka dalam shalat berjamaah terdapat gambaran tentang praktik kepemimpinan dalam Islam. Ketika seorang Imam melakukan ruku’ sujud, takbiratul ihram dan lainnya, maka seorang makmum wajib mengikuti apa yang dilakukan oleh seorang Imam, dalam hukum shalat juga seorang makmum tidak boleh melakukan sesuatu hal tidak dilakukan oleh imam.
Hal yang harus diperhatikan ketika kita akan menunjuk seseorang menjadi Imam tentunya harus memilih orang yang bagus akhlak dan bacannya. Ibrah dari syarat menunjuk imam adalah ketika kita hidup dalam bernegara, tentunya harus memilih seorang pemimpin yang cakap, pandai, memunyai kredibilitas yang mumpuni serta amanah. Sebab seorang makmum akan mengikuti apa yang dilakukan oleh seorang pemimpinnya, apabila pemimpin buruk maka masyarakat atau makmum nya pun buruk. Begitu juga dalam sholat seorang makmum harus mengikuti pola yang dilakukan oleh makmum. Dalam hukum Islam, apabila seorang pemimpin melakukan kesalahan, maka makmumnya mempunyai hak bahkan kewajiban untuk membenarkannya.
Dalam praktek shalat berjama’ah juga, ketika seorang imam sholat melakukan kesalahan bacaan, maka seorang makmum wajib untuk mengucapkan subhanallah dan seorang imam juga harus segera menyadari dan membenarkan bacaannya. Maka dalam Islam tentu seorang Islam ada hak untuk membenarkan secara baik dan beradab, sementara untuk pemimpinnya harus membuka ruang untuk menerima segala kritikan dan saran.
Satu hal lagi yang menjadi makna paling penting dari hikmah sholat berjamaah yang memuat nilai persatuan dan kesatuan adalah ketika di akhir sholat kita mengucapkan salam ke kanan dan kiri. Salam sendiri mempunyai arti mendamaikan dan menyelamatkan. Artinya sebagai seorang Muslim ketika kapanpun dan dimanapun haruslah memberikan energi positif berupa keselamatan dan kedamaian. Suatu hal yang sangat disayangkan oleh ummat Islam itu sendiri adalah mereka terkadang mengabaikan makna dari mengucapkan salam yang sering dilakukan tanpa disadari.
Ketika kita mengucapkan salam, secara tidak langsung kita sudah mengikat sebuah janji yang sakral bahwa kita janji akan saling mendamaikan dan saling menyelamatkan. Dengan mengucapkan salam juga kita sudah berjanji untuk menegasikan segala bentuk kebencian dan konflik sesama ummat manusia. Sehingga di akhir salam ada kata
وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Artinya: “Mendapatkan rahmat Allah dan keberkahan”
Maka dengan saling berjanji untuk saling menyelamatkan dan memberi kedamaian akan muncul istilah Baldattun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur. Negara yang baik dan mendapatkan ampunan dari Allah SWT.
Banyak hadits yang dirawikan oleh ahli-ahli hadits berkenaan dengan Isra Mi’raj ini. Ada yang dirawikan oleh Imam Bukhari, Muslim, Imam Ahmad bin Hambal, Imam Baihaqi, atau dari Ja’far ath-Thabari dan lain-lain yang disalinkan semuanya oleh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya yang terkenal.
Tidaklah ada pertikaian di antara ulama, baik salaf ataupun khalaf bahwa Isra dan Mi’raj itu memang terjadi. Yang jadi pertikaian hanyalah cara Isra Mi’rajnya: tubuh dan nyawakah, atau ruh saja yang menyerupai pengalaman mimpi, tetapi bukan mimpi biasa.
Ulama-ulama Islam zaman modern pun turut menyatakan pendapat dalam hal Isra Mi’raj ini. Allamah Muhammad Farid Wajdi berpendapat bahwa ada kemungkinan Isra’ ialah dengan tubuh, tetapi Mi’raj ke langit dengan ruh saja. Dr. Husain Haikal menyatakan pendapat bahwa Isra dan Mi’raj itu satu pengalaman jiwa, yang satu waktu bersatu dengan alam semesta; bukan mimpi. Tetapi Sayyid Rasyid Ridha tetap pada pendapat bahwa Isra dan Mi’raj adalah dengan badan dan ruh.
Kita berpendapat bahwa hal ini bukanlah tempatnya untuk dipertengkarkan sampai panjang-panjang, yang diributkan orang sejak zaman dahulu bahkan sampai kini, tentang tabiat keadaan yang terjadi dan kepastian diri Rasulullah Saw. dalam hidupnya, berapa jauh jarak diantara Isra dan Mi’raj dengann ruhnyakah dia pergi atau dengan tubuhnya, sedang tidurkan atau sedang sadar.
Ketahuilah bahwa menurut Buya Hamka jarak di antara Isra dan Mi’raj itu tidaklah terlalu jauh, dan tidak pula akan berubah tabiat kejadian ini, bahwa dia adalah kasyaf (pembukaan rahasia) dan tajalli bagi Rasulullah Saw. Tidak ada tempat yang jauh atau alam yang jauh, semua dapat ditempuh dalam sekejap dengan iradat Allah.
Walllahu alam bishawab