Rabu 09 Mar 2022 00:55 WIB

Pekerja Shift Malam Lebih Berisiko Obesitas, Apa Sebabnya?

Pekerja shift malam yang kurang tidur lebih berisiko alami obesitas.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Pekerja shift malam yang kurang tidur lebih berisiko alami obesitas.
Foto: Piqsels
Pekerja shift malam yang kurang tidur lebih berisiko alami obesitas.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tania Whalen merasa mustahil bisa cukup tidur di antara shift pagi dan malam, sebagai petugas pemadam kebakaran di Melbourne, Australia. Jadi untuk membantunya tetap bertenaga melewati malam yang panjang dia sering membawa camilan seperti muffin atau biscuit ke tempat kerjanya.

Tak hanya itu, dia juga sering membeli keripik atau cokelat panas hampir di setiap shift malam.Tania tak memungkiri bahwa kebiasaan makannya ini bisa membuat berat badannya bertambah. Namun dengan kondisi pekerjaannya, dia merasa sulit untuk menghindari camilan itu. Kebiasaan Tania memang tak biasa. Ketika orang tidak cukup istirahat, mereka mendambakan makanan.

Baca Juga

"Ketika tubuh terjaga lebih lama, otak akan memberi sinyal untuk makan karena tubuh membutuhkan lebih banyak energi. Jadi ketika kurang tidur, kita cenderung makan lebih dari dua atau tiga kali lipat dari jumlah kalori yang dibutuhkan,” kata Prof Matthew Walker, direktur Center for Human Sleep Science di University of California.

Dia menjelaskan, itu terjadi karena tidur mempengaruhi dua hormon pengontrol nafsu makan, leptin dan ghrelin. Leptin akan memberi sinyal ke otak bahwa Anda sudah cukup makan. Ketika kadar leptin tinggi, nafsu makan kita berkurang. Ghrelin melakukan sebaliknya, ketika kadar ghrelin tinggi, Anda tidak merasa puas dengan makanan yang dimakan.

Mengapa ini bisa terjadi? Prof Walker memberikan penjelasan evolusioner. Hewan jarang mengurangi waktu tidurnya, kecuali jika mereka kelaparan dan harus tetap terjaga untuk mencari makanan. Jadi ketika kita tidak cukup tidur, dari sudut pandang evolusi, otak berpikir bahwa kita mungkin dalam keadaan kelaparan dan akan meningkatkan nafsu makan untuk mendorong kita makan lebih banyak.

Sebuah penelitian kecil yang dilakukan oleh Prof Walker menunjukkan bahwa peserta lebih cenderung mendambakan makanan manis, asin, dan kaya karbohidrat ketika mereka kurang tidur.

“Tidak ada kabar baik untuk pekerja shift malam yang lelah seperti Tania Whalen. Faktanya, situasinya mungkin lebih buruk bagi mereka karena bukan hanya apa yang dimakan yang menjadi masalah, bahkan ketika mereka memakannya,” kata Prof Walker.

Associate Professor of nutrition dietetics and food di Monash University Melbourne, Dr Maxine Bonham, menjelaskan bahwa tubuh dipersiapkan untuk mengikuti ritme 24 jam sirkadian yang teratur. Siang hari digunakan untuk bekerja, makan dan berolahraga, sementara malam digunakan untuk istirahat.

“Jadi ketika Anda bekerja shift malam, Anda melakukan segala sesuatu yang bertentangan dengan apa yang diharapkan tubuh Anda,” kata Bonham seperti dilansir dari BBC, Selasa (8/3/2022).

Bonham menambahkan, makan di malam hari dapat menyebabkan kadar glukosa lebih tinggi dan lebih banyak zat lemak dalam darah, karena tubuh kurang mampu memecah dan memetabolisme nutrisi dalam waktu singkat. Pekerja shift diketahui lebih berisiko mengalami kenaikan berat badan, diabetes tipe-2, dan penyakit kardiovaskular.

“Orang yang bekerja di malam hari juga lebih cenderung kelebihan berat badan. Mereka mungkin makan karena bosan atau untuk tetap terjaga, dan mungkin makanan yang dimakan pun kebanyakan tak sehat,” jelas dia.

Semua ini telah mengilhami Bonham dan rekan-rekannya untuk membuat eksperimen dan melihat apakah mereka dapat membantu orang-orang yang bekerja shift malam menurunkan berat badan berlebih dan meningkatkan kesehatan mereka secara keseluruhan. Mereka telah merekrut sekitar 220 pekerja shift yang ingin menurunkan berat badan, dan telah menerapkan berbagai diet selama enam bulan.

Tania Whalen ikut mendaftar untuk mengikuti program puasa selama dua hari setiap minggu, dan dia harus mengonsumsi hanya 600 kalori dalam 24 jam. "Itu sulit. Saya cukup khawatir bahwa saya tidak akan bisa melakukannya,” kata Tania.

Namun dia tetap melakukannya, dan mengalihkan perhatiannya dengan membaca, bermain game, berjalan-jalan, serta minum teh peppermint. Hasil studinya belum keluar, tapi Tania merasa itu adalah pengalaman positif yang mendorongnya untuk melakukan perubahan. Menariknya, Tania berpikir itu juga membantunya tidur lebih nyenyak.

Sementara itu, Dr Marie-Pierre St-Onge, seorang peneliti tidur dan nutrisi di New York, telah melakukan penelitian tentang bagaimana pola makan memengaruhi kualitas tidur. Hasilnya, individu yang mengikuti diet gaya Mediterania (makan banyak buah dan sayuran, ikan dan biji-bijian) memiliki risiko 35 persen lebih rendah mengalami insomnia dibandingkan kelompok non-diet mediterania.

Sejumlah penelitian kecil juga telah menunjukkan bahwa beberapa makanan tertentu seperti tomat, cuka apel, buah kiwi yang mengandung melatonin, dapat membantu seseorang tidur lebih mudah dan lebih nyenyak.

“Ada juga makanan yang harus dihindari sebelum tidur. Selain kafein, makanan manis dan gurih juga harus dihindari karena bisa membuat Anda haus dan menganggu tidur,” kata Dr St-Onge.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement