Senin 14 Mar 2022 14:21 WIB

Dua Sisi Sistem Pangan dalam Perubahan Iklim Global

Perhatian pada sistem pangan akan menjadi solusi nyata mencegah kerusakan lingkungan.

Perhatian yang tepat waktu pada sistem pangan akan menjadi solusi nyata mencegah kerusakan lebih lanjut terhadap lingkungan. Foto Ilustrasi Petani,
Foto: dokpri
Perhatian yang tepat waktu pada sistem pangan akan menjadi solusi nyata mencegah kerusakan lebih lanjut terhadap lingkungan. Foto Ilustrasi Petani,

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: dr. Agnes Mallipu (Country Representative for The Global Alliance for Improved Nutrition/GAIN Indonesia : gainhealth.org) dan Nana Firman (Senior Ambassador for Green Faith : greenfaith.org)

Kesepakatan para pemimpin dunia dalam Konferensi Para Pihak Ke-26 tentang Iklim atau COP26 di Glasgow, Skotlandia pada 13 November 2021 tidak menghasilkan satu pun resolusi yang berkaitan dengan pangan. Padahal di sesi pembahasan dalam konferensi iklim tahunan dunia tersebut justru banyak menyoroti persoalan pangan dan perubahan iklim dunia.

Pada Dialog Tingkat Menteri COP26 tentang strategi Adaptasi misalnya sengaja mengundang utusan khusus untuk KTT Sistem Pangan PBB, Dr. Agnes Kalibata untuk berbicara mengenai keterkaitan isu pangan dengan pemanasan global. Dia menyerukan pentingnya sistem pangan sebagai strategi adaptasi untuk mengurangi dampak perubahan iklim global.

Agnes Kalibata memperingatkan dampak pemanasan global terhadap sistem pangan yang akan menambah 10 juta orang baru terjerat dalam kemiskinan ekstrem setiap tahunnya. Dia meyakini perhatian yang tepat waktu pada sistem pangan akan menjadi solusi nyata mencegah kerusakan lebih lanjut terhadap lingkungan.

Sistem pangan memiliki dua sisi dalam perubahan iklim global. Membenahinya sama artinya dengan membantu menekan emisi gas rumah kaca (GRK). Di sisi lain, sistem pangan akan menjadi yang pertama terdampak jika dunia gagal menahan laju pemanasan global.

Ironisnya kesepakatan peta jalan di sektor pertanian (satu bagian saja dari sistem pangan) untuk menahan dampak GRK pada COP26 justru bukan menjadi perhatian para pemimpin dunia. Pembahasan mengenai isu pertanian justru di inisiasi sepuluh perusahaan multinasional terbesar untuk mendukung pengurangan tingkat deforestasi melalui peta jalan yang akan disampaikan dalam COP27 yang akan diselenggarakan di Mesir tahun ini.

Pangan yang Direduksi

Pangan kerap luput dilihat sebagai salah satu penyumbang utama pemanasan iklim global. Kontribusi pangan sebagai penyumbang emisi GRK sering tidak dilihat dalam satu sistem yang utuh. Pangan direduksi sebagai penyumbang emisi dari sisi produksi saja , yang umumnya pertanian. Padahal sistem pangan bukan hanya mengenai produksi, tapi juga bagaimana kita mendistribusikannya, mengonsumsinya, hingga membuang limbahnya. Perbedaan sudut pandang dalam menilai emisi GRK juga kerap sarat kepentingan.

Di tingkat global, ada beberapa riset menjadi rujukan dalam menggambarkan kontribusi sistem pangan sebagai penyumbang GRK. Pertama riset Poore & Nemecek yang dipublikasikan di Science tahun 2018 menyajikan pendekatan meta analisis data yang menyimpulkan kontribusi sistem pangan menyumbang 26 persen total GRK. Kedua, riset yang lebih baru yang dilakukan oleh Crippa, M., Solazzo, E., Guizzardi, D. et al. yang dipublikasikan di Nature Food tahun 2021 dengan mengembangkan basis data emisi global makanan atau EDGAR-FOOD yang menghasilkan perhitungan lebih besar, yakni sistem emisi pangan menyumbangkan 34 persen total emisi GRK.

Artikel Hannah Ritchie dalam Our World in Data (2021)  membandingkan dua riset tersebut. Poore & Nemecek menghitung sistem pangan menyumbang 13,6 miliar ton CO2, sementara Crippa dan rekanya memperkirakan emisinya sebesar 17,9 miliar ton CO2. Memang ada selisih 4 miliar ton pada dua riset tersebut, yang sesungguhnya berasal dari perbedaan perspektif masing-masing dalam memerinci sejauh mana membedah rantai pasok pangan, berikut pengelompokannya sebagai penyumbang emisi GRK. Poore & Nemecek misalnya menghitung sumbangan emisi GRK dalam pemanfaatan lahan sebesar 3,2 miliar ton, sementara Crippa dan kawan-kawannya 5,7 miliar ton. Perhitungan Crippa lebih besar karena mengelompokkan semua deforestasi global yang terjadi untuk pertanian, sementara Poore & Nemecek menghitungnya 60 persen.

Di Indonesia, Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) melansir hasil penelitian yang menyebutkan sektor pertanian menyumbang 14 persen dari total emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia, di luar emisi dari penggunaan lahan. Sumber terbesar emisi di sektor pertanian adalah dari penanaman padi 40 persen, pengolahan tanah organik 21 persen, kotoran ternak 14 persen, dan pupuk sintetis 11 persen. Sektor pertanian merupakan sumber utama dari Emisi GRK yaitu Methane (CH4), Nitrous oxide (N2O), dan Carbon dioxide (CO2) (Susilawati & Setyanto, 2018).

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement