REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Terdapat sejumlah hadits yang beredar di masyarakat terkait dengan nisfu syaban. Namun, manakah di antaranya yang sahih dan palsu?
"Ketahuilah wahai saudaraku tercinta semoga Allah selalu merahmatimu, bahwa banyak sekali riwayat-riwayat yang beredar di tengah masyarakat seputar Nisfu Syaban, padahal kebanyakan hadits-hadits tersebut tidak shahih dalam timbangan ahli hadits," kata Pimpinan Pesantren Al Furqon Al Islami Gresik, Ustadz Abu Ubaidah Yusuf belum lama ini.
Ustadz Abu Ubaidah menjelaskan, Imam Qurthubi berkata dalam Tafsirnya, “Tentang malam Nisfu Syaban tidak terdapat satu hadits pun yang dapat dijadikan sandaran, baik mengenai keutamaannya atau tentang pembatalan ajal seseorang, maka janganlah kalian mengacuhkannya!”
"Benar, ada suatu riwayat tentang keutamaan malam Nisfu Syaban yang dishahihkan oleh sebagian ahli ilmu," ujar Ustadz Abu Ubaidah.
“Allah Tabaraka wa Ta’ala turun kepada makluk-Nya pada malam Nisfu Syaban, lalu Dia mengampuni seluruh makhluk-Nya kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.”
Hadits ini Shahih. Diriwayatkan dari jalan beberapa sahabat, yaitu Mu’adz bin Jabal, Abu Tsa’labah al-Husyani, Abdullah bin Umar, Abu Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah, Abu Bakar ash-Shiddiq, ‘Auf bin Malik, dan Aisyah radhiyallahu ‘anhum ajma’in.
Ustadz Abu Ubaidah mengatakan, kesimpulannya, hadits ini dengan terkumpulnya jalan-jalan riwayat yang banyak ini bisa terangkat kepada derajat shahih dengan tanpa ragu lagi, karena keshahihan bisa dengan lebih kecil bilangannya dari jalur-jalur ini selama tidak terlalu parah lemahnya, sebagaimana telah mapan dalam disiplin ilmu hadits ini.
Sementara itu, Hadits-hadits palsu tentang amalan saat malam Nisfu Syaban, seperti hadits-hadits berikut:
Dari Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Apabila tiba malam Nisfu Syaban, shalatlah pada malam harinya dan puasalah di siang harinya, karena Allah turun ke langit dunia di saat tenggelamnya matahari, lalu berfirman, ‘Adakah yang meminta ampun kepada-Ku, Aku akan mengampuninya. Adakah yang meminta rizki kepada-Ku, Aku akan memberinya rizki. Adakah yang sakit, Aku akan menyembuhkannya. Adakah yang demikian.... Adakah yang demikian.... Sampai terbit fajar.’”
Hadits ini Maudhu’. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1388) dan al-Baihaqi dalam Fadha’ilul Auqat (24). Tetapi dalam sanadnya terdapat seorang rawi bernama Abu Bakr bin Muhammad bin Abi Sabrah, seorang rawi yang lemah dengan kesepakatan ulama. Ibnu Rajab berkata, “Sanadnya dha’if (lemah)” (Latha’iful Ma’arif). Bahkan al-Muhaddits al-Al-bani berkata, “Hadits ini maudhu’ (palsu).” (Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah)
“Wahai Ali, barangsiapa sholat seratus rakaat pada malam Nisfu Syaban dengan membaca surat al-Fatihah dan ‘Qul Huwalla-hu Ahad’ (surat al-Ikhlas) pada setiap rakaat sepuluh kali, maka Allah akan memenuhi seluruh kebutuhannya.”
Hadits ini Maudhu’ (palsu) dengan kesepakatan ahli hadits (Iqtidha’ Shiratil Mustaqim). Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Tidak diragukan lagi, hadits ini adalah maudhu’.” Kemudian lanjutnya, “Dan sungguh kita telah melihat mayoritas orang melakukan shalat Alfiyah ini sampai larut malam, sehingga mereka pun malas shalat Shubuh atau bahkan tidak shalat Shubuh!” (Al-Maudhu’at)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Di antara contoh hadits-hadits maudhu’ adalah hadits tentang shalat Nisfu Syaban.” Lanjutnya, “Sungguh sangat mengherankan, ada seorang yang mengerti ilmu hadits, namun tertipu dengan hadits-hadits semacam ini lalu mengamalkannya. Padahal sholat seperti ini baru disusupkan ke dalam Islam setelah tahun 400 Hijriah dan berkembang di Baitul Maqdis” (Al-Manarul Munif). Al-‘Iraqi rahimahullah berkata, “Hadits tentang sholat Nisfu Sya’ban adalah batil” (Al-I’tibar fi Hamlil Asfar, as-Suwaidi).