Kamis 17 Mar 2022 18:02 WIB

Alasan BI Masih Pertahankan Suku Bunga Meski Tekanan Inflasi Mulai Naik

BI mempertahankan suku bunga acuan di level 3,5 persen.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Nidia Zuraya
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo (ilustrasi). BI mempertahankan suku bunga acuan di level 3,5 persen.
Foto: Dok. Bank Indonesia
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo (ilustrasi). BI mempertahankan suku bunga acuan di level 3,5 persen.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) hanya akan menaikan suku bunga acuan 7 Days Reverse Repo Rate (7DRRR) karena pengaruh dari inflasi fundamental. Gubernur BI, Perry Warjiyo menyampaikan, kebijakan moneter  BI hanya akan merespons kenaikan inflasi yang bersifat fundamental yang diukur dari kenaikan inflasi inti.

"BI tidak merespons secara langsung kenaikan yang dari inflasi volatile food maupun administered price, dan juga tidak merespons pada tahap pertama," kata Perry dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur BI Maret 2022, Kamis (17/3/2022).

Baca Juga

BI akan mempertahankan BI 7DRRR hingga ada tanda-tanda kenaikan inflasi secara fundamental. Perry mengatakan, kenaikan harga-harga yang terjadi saat ini merupakan hasil dari perkembangan geopolitik yang terjadi, khususnya eskalasi di Rusia dan Ukraina.

Perry mengatakan perkembangan dari konflik kedua negara tersebut telah berakibat pada tiga hal, yakni jalur pasokan, perdagangan, dan keuangan. Pada jalur pasokan, harga energi dan komoditas pangan mengalami kenaikan signifikan.

BI juga memproyeksi harga minyak Indonesia akan mengalami kenaikan lebih tinggi di angka rata-ratanya bisa mencapai 85-86 dolar AS per barel, naik dari penilaian bulan lalu yang 67-70 dolar AS per barel. Ini akan mempengaruhi jalur perdagangan.

Komoditas lain juga terkena imbas yang akan berpengaruh pada tingkat ekspor dan impor Indonesia. Perry mengatakan, dampak pada jalur pasokan ini akan dipengaruhi seberapa lama eskalasi terus berlangsung.

BI juga memproyeksikan dampaknya pada pertumbuhan ekonomi dunia. Perkiraan BI turun dari semula 4,4 persen menjadi 4,2 persen, bahkan bisa mencapai 3,8 persen jika konflik Ukraina dan Rusia terus berlanjut.

Gangguan pada jalur pasokan yang terimplikasi pada kenaikan harga-harga akhirnya menyebabkan kenaikan inflasi global. Ini berpengaruh pada kebijakan moneter sejumlah negara maju, seperti Amerika Serikat yang telah menaikan suku bunga acuannya untuk pertama kali pada 15 Maret lalu sebesar 25 basis poin.

"Ini akan mempengaruhi jalur pasar keuangan global, arus modal akan tertahan ke emerging market," katanya.

Perry mengatakan, pengaruh ke jalur perdagangan relatif terbatas sehingga implikasinya tidak terlalu besar. Kenaikan harga komoditas global akan terimplikasi pada sisi fiskal dan harga di dalam negeri. Ini tergantung sikap dan kebijakan pemerintah.

Menurut Perry, BI dan pemerintah terus berkoordinasi dan akan menyampaikan responsnya nanti lebih lanjut. Respons kebijakan dari pemerintah yang telah dikeluarkan didukung BI sebagai upaya memastikan pasokan dalam negeri terjaga.

"Sehingga harga pangan sekarang maupun nanti jelang Ramadhan ini tetap terjaga, kami dukung penuh upaya-upaya pemerintah," katanya.

Lebih lanjut, BI mewaspadai pengaruh ketidakstabilan global pada jalur keuangan. Perry mengatakan, BI mencatat net outflow sebesar 0,4 miliar dolar AS, khususnya dari Surat Berharga Negara. Aliran modal asing ini akan mempengaruhi nilai tukar Rupiah.

Secara umum, Perry menyebut nilai tukar relatif terjaga meski terjadi apresiasi. Ekspektasi investasi juga dinilai masih baik karena Indonesia punya prospek ekonomi yang baik. Cadangan devisa tetap terjaga disertai dengan peraca perdagangan yang surplus.

Perry mengatakan, apresiasi yang terjadi pada Rupiah cenderung dipengaruhi oleh faktor fundamental, bukan teknikal. Perkembangan konflik Rusia-Ukraina membawa kenaikan surat berharga AS, US Treasury sehingga terjadi penguatan dolar AS terhadap berbagai mata uang lain.

US Treasury telah mengalami kenaikan yang semula 1,3 persen menjadi kini 1,9 persen, dan kemungkinan bisa mencapai 2,1 persen atau 2,3 persen setahun lagi. SBN Indonesia juga telah mengalami kenaikan untuk tenor 10 tahun, dari sebelumnya 6,1 persen kini 6,7 persen dan bisa mencapai 6,7 persen.

"Kenaikan suku bunga acuan AS yang terimplikasi pada US Treasury ini yang kita lihat karena akan pengaruhi SBN juga secara mekanisme pasar," katanya.

 Deputi Gubernur Senior. Destry Damayanti menambahkan, konflik Rusia dan Ukraina sejauh ini masih bisa ditangani dengan baik. Pengaruh yang paling terasa pada Indonesia adalah di jalur keuangan saat terjadi capital outflow.

"Ini yang disebut risk off, karena mereka mencari instrumen yang dianggapnya aman dalam hal ini dolar AS atau emas," katanya.

Capital outflow mayoritas dari SBN senilai Rp 30 triliun dan saham sebesar Rp 4 triliun. Destry mengatakan, dengan keluarnya dana asing itu seharusnya ada ketidakstabilan pada nilai tukar rupiah. Namun, kini porsi investor domestik cukup kuat.

"Asuransi dan dana pensiun itu masuk kencang di SBN akhir-akhir ini, sehingga ada penyesuaian di bond yield sehingga kenaikan tidak terlalu drastis kini di 6,7 persen," katanya.

Ini juga membuat nilai tukar rupiah relatif lebih stabil dibanding mata uang negara tetangga. Prospek Indonesia dinilai masih baik, capital inflow masih terjadi pada saham. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement