REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Memilih untuk melakoni gaya hidup sedenter atau minim aktivitas fisik mungkin terdengar payah. Namun ternyata hal itu adalah pilihan terbaik bagi mereka yang alergi olahraga.
Kondisi yang jarang terjadi ini disebut juga sebagai anafilaksis yang diinduksi oleh olahraga (exercise-induced anaphylaxis/EIA). Jika penderitanya berolahraga terlalu berat mereka bisa pingsan, gatal-gatal, muntah, atau gejala lain yang berpotensi berbahaya.
Sebelum menguraikan anafilaksis yang disebabkan oleh olahraga, mari kita bicara tentang alergi. Menurut ahli alergi dan imunologi bersertifikat Ratika Gupta, alergi adalah respons imun kompleks yang memengaruhi berbagai proses tubuh. Misalnya alergi dapat bermanifestasi produksi lendir berlebih di area sinus, sehingga memicu gatal-gatal pada kulit atau menyebabkan reaksi seperti mata bengkak dan sejumlah gejala lainnya.
Dalam beberapa kasus, alergi juga dapat menyebabkan anafilaksis, istilah untuk menggambarkan reaksi alergi berat yang memicu pembengkakan lidah dan tenggorokan, pembuluh darah menyempit, dan hipotensi, yang bisa mengancam jiwa. Alergi terhadap lebah, obat-obatan, kacang-kacangan, dan makanan laut adalah pemicu umum untuk respons semacam ini.
"Anafilaksis jarang terjadi, tetapi aktivitas fisik yang berat bisa memicunya. Biasanya ada pemicu lain yang terkait dengan aktivitas fisik," kata Dr Gupta seperti dilansir dari Well and Good, Sabtu (19/3/2022).
Gejala dari alergi olahraga berkisar dari wajah memerah, mengi, sakit perut, diare, atau gejala yang lebih parah seperti angioedema (pembengkakan), edema laring (pembengkakan di area laring), hipotensi (tekanan darah rendah) dan, akhirnya, kolaps kardiovaskular (kerusakan jantung yang fatal). Gejala yang lebih intens dan berbahaya adalah tanda pasti bahwa Anda perlu mencari pengobatan.
Lalu seberapa umumkan EIA? Menurut Dr Gupta, EIA jarang terjadi dan bahkan lebih jarang tanpa ada pemicu alergi lain yang ada.
“Saat ini, diyakini bahwa anafilaksis yang dipicu oleh olahraga terkait dengan makanan yang dikonsumsi seseorang dalam 1 hingga 3 jam setelah berolahraga," kata Bradley Katz, profesor neurologi sekaligus dokter di University of Utah Hospital.
Menurut Katz, makanan seperti kerang atau kacang tanah dapat menjadi pemicu, dan ketika seseorang berolahraga, aliran darah meningkat dan tubuh membakar makanan lebih cepat, yang dapat memicu reaksi alergi.
Dokter kulit yang juga pengidap EIA, Cynthia Bailey, menceritakan bahwa dia pertama kali didiagnosis dengan EIA pada usia 15 tahun. Setelah ditelisik, dia akhirnya tahu bahwa alerginya dipicu karena konsumsi kenari sebelum olahraga.
“Jika saya makan kenari tanpa berolahraga, saya mengalami gatal-gatal di mulut. Tetapi jika saya berolahraga, saya mengalami angioedema penuh di wajah dan tangan. Saya juga mengi dan beberapa kali pernah sampai laryngeal spasm yang memerlukan perawatan," kata Dr Bailey.
Jadi, jika Anda menduga menderita EIA (atau alergi secara umum), Anda tidak perlu meninggalkan olahraga. Dr Katz merekomendasikan agar fokus mencatat makanan yang sensitif bagi mereka dan pastikan untuk tidak mengonsumsinya terutama sebelum berolahraga.
Sementara untuk perawatan, EIA untuk kasus ringan biasanya diberikan antihistamin atau suntikan epinefrin (dikenal sebagai EpiPen). EpiPens adalah perangkat genggam yang menangani reaksi alergi yang mengancam dengan secara otomatis menyuntikkan dosis epinefrin.
“Dalam kebanyakan kasus, orang membawa EpiPen dalam keadaan darurat,” kata Dr Gupta.
Meski alergi olahraga, namun ini bukan berarti tidak boleh sama sekali melakukan aktivitas fisik. Dr Katz merekomendasikan untuk mempertahankan tingkat intensitas sedang. Dan, jika Anda memiliki reaksi alergi, hentikan olahraga dan segera cari pengobatan untuk meredakan gejala.
“Tapi ingat, olahraga tidak selalu berbahaya. Itu tergantung pada tingkat keparahan alergi dan pemicu lain yang Anda miliki,” kata Dr Katz.