Oleh : Esthi Maharani, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Hubungan antara Rusia dan Amerika Serikat di ambang kehancuran. Hal ini setelah Presiden Amerika Serikat, Joe Biden menyebut Presiden Vladimir Putin sebagai penjahat perang. Moskow tidak dapat menerima pernyataan semacam itu. Bahkan Moskow menyebut pernyataan tersebut tidak layak keluar dari seorang presiden yang notabene merupakan negarawan berpangkat tinggi
Biden memang membuat pernyataan semacam itu belum lama ini. Biden merespons wartawan yang bertanya, apakah dia bakal menyebut Putin penjahat perang setelah melihat kondisi Ukraina digempur Rusia. “Saya pikir dia (Putin) adalah penjahat perang,” ujar Biden pada 16 Maret 2022.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken sepakat dengan pernyataan Joe Biden yang menyebut Putin penjahat perang. Blinken menekankan, niat untuk mengincar warga sipil dalam pertempuran adalah bentuk kejahatan perang.
Blinken juga menyinggung tentang serangan-serangan Rusia yang turut menyasar sekolah, rumah sakit, dan gedung teater di Ukraina. Menurutnya, serangkaian serangan itu merupakan bukti bahwa Moskow membidik fasilitas sipil, bukan militer, di seluruh Ukraina.
Namun setelah itu Gedung Putih menyatakan, belum ada penetapan resmi mengenai potensi pelanggaran hukum internasional sejak Rusia melancarkan serangan militer ke Ukraina pada 24 Februari lalu.
Rusia pun merespons. Kremlin tak terima pemimpinnya disebut sebagai penjahat perang oleh pemimpin negara yang membom orang di seluruh dunia selama bertahun-tahun dan menjatuhkan bom nuklir di Hiroshima dan Nagasaki. AS disebut tidak berhak menuduh Presiden Rusia Vladimir Putin melakukan kejahatan perang. Pernyataan Biden tidak dapat diterima dan tidak dapat dimaafkan oleh Rusia.
Penyebutan Putin sebagai penjahat perang bisa jadi merupakan titik didih baru. Karena untuk pertama kalinya, Rusia secara terperinci memberikan sanksi kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Selama ini, Rusia hanya mengancam dan menggertak AS dan sekutunya dalam konflik dengan Ukraina.
Rusia mengumumkan sanksi terhadap Presiden AS Joe Biden dan Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau. Rusia juga menjatuhkan sanksi terhadap para pejabat AS dan Kanada sebagai tanggapan atas sanksi Barat. Rusia menyebut sanksi tersebut merupakan serangan balik dan konsekuensi dari kebijakan Russophobia yang diambil oleh Washington.
Setidaknya ada 13 pejabat tinggi AS mulai dari Presiden Joe Biden, Menlu, kepala militer dan intelijen AS yang beri sanksi oleh Rusia. Para pejabat ini tidak akan lagi diizinkan masuk ke Rusia dan mendapatkan beberapa hukuman lainnya. Sedangkan, sanksi terhadap Kanada meliputi 313 warga Kanada termasuk Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau dan beberapa menterinya.
Rusia juga mengatakan bahwa daftar itu akan diperluas dalam waktu dekat dengan sanksi tambahan dan lebih banyak pejabat senior AS, militer, anggota parlemen, pengusaha, pakar, dan tokoh media, yang berkontribusi untuk menghasut kebencian terhadap Rusia dan memberlakukan tindakan pembatasan.
Meski sanksi tersebut diremehkan AS, tetapi setiap ancaman dari Rusia tak bisa diabaikan. Rusia barangkali masih memiliki amunisi yang belum diketahui. Invasi selama hampir satu bulan terakhir belum benar-benar memberikan gambaran seberapa besar kekuatan Rusia. Terlebih lagi, Rusia tidak menggembar gemborkan kekuatan ataupun langkah-langkah yang akan dilakukan nantinya.
Misalnya saja, Rusia secara mengejutkan menggunakan rudal Kinzhal hipersonik untuk pertama kali. Rusia merasa bangga dengan persenjataan canggih miliknya dan mengklaim diri sebagai pemimpin global rudal hipersonik, yang kecepatan, kemampuan manuver dan ketinggiannya membuat mereka sulit dilacak dan dicegat. Rudal Kinzhal merupakan bagian dari persenjataan yang diungkap pada 2018.
Begitu pula kemampuan Rusia untuk memberikan serangan balik kepada negara-negara yang terlebih dulu memberikan sanksi belum benar-benar bisa diprediksi. Sejak awal, Rusia sudah mengingatkan agar negara-negara lain tidak ikut campur atau akan menerima konsekuensi yang tak terbayangkan sebelumnya. Sejalan dengan itu, Rusia pun terus mencatat negara mana saja yang terlibat dalam urusan Ukraina dan mengaku tak ragu untuk memberikan sanksi balasan di kemudian hari seraya secara konsisten memberikan ancaman.
Yang saya takutkan, Rusia sedang mengukur sejauh mana AS dan negara sekutu memberikan sanksi. Pada titik tertentu, ketika Rusia menganggap bahwa sanksi-sanksi sudah tak bisa lebih dari yang diberikan, giliran mereka yang melakukan aksi balasan. Entah apa dan bagaimana bentuknya.