Selasa 22 Mar 2022 17:29 WIB

Sri Mulyani: Pemerintah tak Naikkan Harga Pertalite Hingga Listrik

Pemerintah menahan kenaikan tarif listrik agar konsumsi masyarakat bisa terjaga.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Pengendara motor mengisi BBM jenis Pertalite di sebuah SPBU Pertamina di Jakarta (ilustrasi).
Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Pengendara motor mengisi BBM jenis Pertalite di sebuah SPBU Pertamina di Jakarta (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menyebut perang antara Rusia dan Ukraina menyebabkan kenaikan harga komoditas seperti batu bara, minyak sawit (crude palm oil/CPO), nikel, minyak dan gas, bahkan kedelai, dan gandum. Hal ini menimbulkan market shock seluruh dunia.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan kenaikan harga komoditas turut menambah beban pemulihan ekonomi, sehingga peran APBN diperlukan untuk meringankan gejolak ini. “Market shock komoditas oil, gas, dan listrik adalah administered price, pilihannya kalau kita shock dari kenaikan bahan baku di-passed over (dialihkan) ke rakyat naiknya (harga) jadi tinggi, langsung jeblok semua konsumsinya,” ujarnya saat webinar, Selasa (22/3/2022).

Baca Juga

Menurutnya saat ini pemerintah menahan kenaikan tarif listrik agar konsumsi masyarakat bisa terjaga terutama masyarakat kelas menengah. Tak hanya listrik, pemerintah juga menegaskan harga BBM Pertalite tidak mengalami kenaikan. 

“Kemudian harga bahan bakar kita tidak naik. Pertalite tidak berubah. Ini menyebabkan nanti kita akan bayar kompensasi ke Pertamina karena mereka tidak naik,” ucapnya.

Kemudian harga BBM Pertamax, Sri Mulyani tak menjelaskan secara gamblang. Hanya menegaskan BBM Pertamax selama ini banyak dikonsumsi orang mampu. “Pertamax (Turbo) sudah kena karena dia bagi masyarakat kaya,” ucapnya. 

Maka begitu, Sri Mulyani menjelaskan APBN harus menghitung berapa penerimaan dari komoditas, dan berapa belanja yang akan ditagihkan ke pemerintah karena beban kenaikan harga belum alihkan kepada masyarakat. Dia harus memastikan, struktur APBN tetap sehat.

Selain komoditas energi, kenaikan harga bahan pangan juga tugas yang berat bagi pemerintah. Sri Mulyani menyebut bahan pangan bahkan lebih rumit karena pelaku usaha sektor ini lebih banyak, berbeda dengan energi yang cenderung monopolistik.

"Produsen banyak sekali dan distribusi terpencar di 30 ribu market. Maka pendekatannya kita naikkan bantalan sosial, tahun lalu shock-nya karena kehilangan pekerjaan, kalau sekarang shock dari daya beli, yang akan diberikan tambahan dari bentuk bansos," jelasnya.

Sri Mulyani menyebut instrumen harus diterapkan dengan lebih teliti dan mengantisipasi berapa lama perang berlangsung yang berdampak kepada komoditas penting. Dia pun sudah melihat diagnosisnya apakah dampak komoditas masuk ke purchasing product index.

Selain melihat dampaknya kepada APBN, pasar keuangan, dan penerapan bantalan sosial dan subsidi, Sri Mulyani juga mempertimbangkan intervensi pemerintah kepada sisi produksi komoditasnya, contohnya penetapan domestic market obligation (DMO) batu bara dan CPO.

"Kita ingin PLN produksi listriknya harus secure, kita pastikan jangan tiba-tiba tidak ada pasokan nanti ada krisis lain lagi. CPO juga ada DMO untuk menjamin supply minyak goreng di dalam negeri. Kita naikkan pajak ekspornya untuk meningkatkan penerimaan negara, tapi nanti dikembalikan lagi intervensi tadi," ucapnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement