REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Bank Dunia telah menunda empat proyek di Afghanistan senilai 600 juta dolar AS. Penundaan ini terjadi di tengah kekhawatiran atas keputusan kepemimpinan Taliban yang melarang anak perempuan kembali ke sekolah menengah.
Proyek itu didanai di bawah Dana Perwalian Rekonstruksi Afghanistan (ARTF), yang sedang disiapkan untuk dilaksanakan oleh badan-badan PBB. Proyek tersebut yang bertujuan mendukung pertanian, pendidikan, kesehatan, dan mata pencaharian.
Tetapi pedoman Bank Dunia mengharuskan semua kegiatan yang dibiayai ARTF, harus mendukung akses kesetaraan layanan untuk perempuan dan anak perempuan di Afghanistan. Bank Dunia menyatakan keprihatinan mendalam atas keputusan Taliban yang melarang anak perempuan kembali ke sekolah menengah.
"Keempat proyek akan disetujui ketika Bank Dunia dan mitra internasional memiliki pemahaman yang lebih baik tentang situasi dan keyakinan bahwa tujuan proyek dapat dipenuhi," ujar pernyataan Bank Dunia.
Dewan eksekutif Bank Dunia pada 1 Maret menyetujui rencana untuk menggunakan anggaran sekitar 1 miliar dolar AS yang diambil dari dana ARTF untuk membiayai program pendidikan, pertanian, kesehatan, dan keluarga yang sangat dibutuhkan oleh warga Afghanistan. Sebelumnya, ARTF dibekukan pada Agustus ketika Taliban mengambil alih kekuasaan dan pasukan internasional pimpinan AS meninggalkan Afghanistan setelah 20 tahun berperang.
Pemerintah asing juga mengakhiri bantuan keuangan yang memiliki porsi lebih dari 70 persen dari pengeluaran pemerintah. Akibatnya, perekonomian Afghanistan mengalami keruntuhan.
Bank Dunia kemudian setuju mencairkan dana ARTF untuk proyek-proyek baru yang akan dilaksanakan oleh badan-badan PBB. Bank Dunia memastikan anak perempuan dan perempuan, bisa berpartisipasi dan mendapat manfaat dari dukungan dana tersebut.
Sebelumnya Taliban pada Rabu (23/3) membatalkan pembukaan sekolah menengah untuk anak perempuan. Taliban mengatakan, sekolah untuk anak perempuan akan tetap ditutup sampai batas waktu yang belum ditentukan.
Guru dan siswa dari tiga sekolah menengah di sekitar ibu kota Kabul mengatakan, para pelajar perempuan telah kembali ke sekolah dengan gembira pada Rabu pagi. Namun, mereka diperintahkan untuk pulang. Sebagian besar siswi menangis saat diminta kembali ke rumah.
"Kami semua kecewa dan kami semua benar-benar putus asa ketika kepala sekolah memberi tahu kami, dia juga menangis," kata seorang siswi, yang tidak disebutkan namanya karena alasan keamanan.
Ketika memerintah Afghanistann pada periode 1996-2001, Taliban melarang perempuan mengakses pendidikan dan pekerjaan. Komunitas internasional telah menjadikan pendidikan anak perempuan sebagai tuntutan utama untuk pengakuan masa depan kepemimpinan Taliban, yang mengambil alih Afghanistan pada Agustus tahun lalu.
Pekan lalu, Kementerian Pendidikan Afghanistan di bawah kepemimpinan Taliban mengumumkan bahwa, sekolah untuk semua siswa, termasuk anak perempuan akan dibuka di seluruh negeri pada Rabu. Sejak Taliban berkuasa, anak perempuan usia sekolah menengah dilarang kembali ke kelas.
Pada Selasa (22/3) malam, juru bicara Kementerian Pendidikan merilis video ucapan selamat kepada semua siswa atas kembalinya mereka ke kelas. Namun, pada Rabu, Kementerian Pendidikan mengatakan, sekolah untuk anak perempuan akan ditutup sampai ada rencana yang disusun sesuai dengan hukum Islam dan budaya Afghanistan.
"Kami memberi tahu semua sekolah menengah perempuan dan sekolah-sekolah yang memiliki siswa perempuan di atas kelas enam bahwa, mereka libur sampai pemberitahuan berikutnya," kata pernyataan Kementerian Pendidikan.
Tetapi para pemimpin Taliban mengatakan, semua anak perempuan akan diizinkan kembali ke ruang kelas pada akhir Maret.