REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Untuk memperkirakan jumlah permintaan dan penawaran pangan nasional, laporan produksi dan konsumsi harus didasarkan pada perencanaan dan kapasitas perusahaan di sektor pangan. Sebagai salah satu faktor pendukung penggunaan neraca komoditas, tidak tersedianya sumber data yang akurat dan dapat diandalkan bisa menjadi penghalang.
“Ketergantungan neraca komoditas pada input data bisnis memberikan dorongan kepada perusahaan untuk melaporkan estimasi yang tidak akurat untuk memengaruhi akses mereka kepada ekspor dan impor,” kata Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Krisna Gupta dalam keterangan tertulisnya, Jumat (15/4/2022).
Krisna melanjutkan, dorongan seperti ini bisa saja terjadi saat munculnya kekhawatiran tentang kecukupan pasokan domestik dan juga kekhawatiran tentang kompetisi yang harus dihadapi dengan produk impor. Produsen di dalam negeri mungkin saja memberikan data yang tidak akurat dan melebih-lebihkan kapasitasnya.
PP nomor 28 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian menyebut beberapa mekanisme untuk memverifikasi data produksi yang diberikan perusahaan atau produsen, menggunakan surveyor eksternal kalau memang dibutuhkan. Namun, kriteria tentang waktu verifikasi belum jelas.
Mekanisme soal bagaimana memeriksa akurasi data pada sektor perikanan sudah ada dan tertuang di dalam Peraturan Menteri KP nomor 24 tahun 2021. Namun mekanisme serupa masih belum tersedia pada komoditas lainnya, yaitu beras, garam, gula dan daging sapi.
Kelimanya merupakan komoditas yang kegiatan ekspor impornya akan didasarkan pada neraca komoditas.
Selain itu, belum ada konsekuensi bagi perusahaan yang melebih-lebihkan data produksi dan konsumsi. Namun hal ini memang seharusnya tidak ada karena data yang diberikan juga merupakan perkiraan.
Ia menilai, yang menjadi masalah adalah pemerintah tidak bisa membedakan mana laporan palsu dan mana laporan yang benar tapi meleset akibat dinamika bisnis.
“Misalnya, saat impor banyak, ternyata ada perubahan pola permintaan domestik yang membuat realisasi impor lambat. Apa realisasi impor lambat ini karena laporan rencana impornya yang terlalu besar atau memang karena ada perubahan pola permintaan? Ini tidak bisa dibedakan. Jadinya kalau mau menghukum lewat realisasi impor akan sulit,” jelasnya.
Sementara itu pada data antar kementerian, mekanisme untuk mengatasi adanya perbedaan data antar mereka juga belum tersedia. Padahal perbedaan data antar kementerian sudah sering terjadi.
Satu-satunya hal yang dapat memfasilitasi hal tersebut adalah rapat antar kementerian. Revisi neraca komoditas di pertengahan tahun juga dapat jadi pilihan.
Frekuensi pengumpulan data juga belum diatur dalam neraca komoditas. Walaupun neraca komoditas dapat melihat potensi permasalahan, tetapi kemampuannya dalam merespons pergerakan pasar masih perlu dipertanyakan.
Krisna menyebut, ketergantungan neraca komoditas pada data perusahaan dan kementerian memiliki arti frekuensi pembaruan data sangat tergantung pada kemampuan mereka dalam mengumpulkan data dengan tepat waktu.
Penelitian CIPS merekomendasikan, perlu ada mekanisme yang jelas dalam pengumpulan data oleh perusahaan dan kementerian. Selain itu, dibutuhkan juga mekanisme yang jelas tentang penyelesaian sengketa seperti adanya perbedaan data antara perusahaan satu dengan lainnya atau dengan institusi pemerintah.
“Kompleksitas permasalahan ini memunculkan pertanyaan soal bagaimana neraca komoditas bisa menjadi efektif dalam menentukan kebijakan yang akan diambil,” kata dia.