REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harga daging sapi yang kembali tinggi memunculkan urgensi untuk membenahi rantai distribusi dan logistik dari komoditas pangan yang satu ini. Proses ini menimbulkan biaya tambahan yang tidak sedikit yang pada akhirnya mempengaruhi harga jual.
Board Members Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Dr Risti Permani menyatakan rantai distribusi daging sapi yang panjang menimbulkan biaya tambahan yang cukup tinggi. Sehingga, tutur dia, kenaikan di harga logistik dan transportasi akan berdampak signifikan padamodal produksi daging sapi di tingkat produsen.
"Belum lagi adanya kebijakan eksternal yang turut berdampak, seperti kenaikan harga bahan bakar minyak,” tutur dia.
Ia menyebut, sebenarnya harga sapi bakalan dari Australia mulai stabil di awal 2023 ini dengan membaiknya persediaan sapi di bagian utara Australia dan iklim yang mendukung. Hanya saja model bisnis yang ada saat ini di mana importir mendatangkan sapi bakalan yang kemudian harus digemukkan di feedlots dan dipotong di Indonesia membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tinggi hingga daging sapi mencapai konsumen akhir.
Setelah melalui proses penggemukan dan pemotongan hewan, proses selanjutnya adalah menjual daging sapi yang dihasilkan ke pedagang grosir berskala besar di pasar atau melalui tengkulak yang membantu Rumah Potong Hewan (RPH) untuk mendapatkan pembeli.
Proses ini dilanjutkan dengan menjual daging sapi ke pedagang grosir berskala kecil. "Merekalah yang menjual daging sapi ke pedagang eceran di pasar tradisional atau supermarket, sebelum akhirnya sampai di tangan konsumen. Proses panjang ini tentu menimbulkan biaya tambahan yang tidak sedikit," ucap dia.
Langkah pemerintah untuk mengimpor daging dari negara selain Australia, termasuk daging sapi dari Brazil dan daging kerbau dari India, juga masih belum bisa sepenuhnya menstabilkan harga pasar.
“Secara umum, pandemi memunculkan penambahan biaya transportasi dan juga penyimpanan. Ditambah dengan kenaikan harga bahan bakar minyak yang membuat ongkos transportasi antar daerah menjadi semakin tinggi,” tambahnya.
Pandemi Covid-19 memang menimbulkan disrupsi pada sektor pertanian di seluruh dunia. Implementasi berbagai kebijakan pembatasan sosial mempengaruhi kinerja sektor pertanian.
Penurunan kapasitas produksi dan pengolahan menyebabkan suplai berkurang. Misalnya saja, kenaikan harga daging sapi yang terjadi di 2021, salah satunya, disebabkan oleh harga sapi dari Australia juga sudah menanjak sejak akhir 2020, karena peternak Australia berusaha membangun kembali peternakannya (herd rebuilding) setelah terdampak kekeringan di tahun 2019 ditambah dengan tingginya biaya distribusi akibat penurunan kapasitas logistik selama pandemi Covid-19.
Risti menambahkan, fluktuasi harga pangan tentunya merupakan hal yang biasa karena perdagangan pangan tidak lepas dari dinamika pasar berdasarkan produksi, distribusi, dan permintaan. Menjelang Bulan Ramadan dan Idul Fitri, jumlah permintaan biasanya akan meningkat dan hal ini perlu diikuti dengan kecukupan pasok sebagai bentuk antisipasi.
Oleh karena itu, Risti menyebut sangat penting untuk memastikan ketersediaan daging sapi untuk konsumsi domestik cukup untuk sepanjang tahun 2023. Produksi domestik bisa ditingkatkan dengan mengembangkan sistem produksi dan distribusi daging sapi agar dapat mencapai produktivitas yang optimal guna mengantisipasi lonjakan harga di pasar internasional.
Salah satunya dengan memodernisasi sektor peternakan Indonesia dan meningkatkan kapasitas peternak lokal. Indonesia juga dapat membuka diri terhadap investasi untuk memajukan sektor peternakan.
“Kedepannya, Indonesia dapat memperkuat kerja sama perdagangan dan investasi untuk mendiversifikasi sumber pangan dan memperkuat resiliensi sistem pangan Indonesia dengan terus memastikan faktor-faktor penting seperti keamanan pangan (food safety) dan resiko biosekuriti,” tegasnya.