Sabtu 23 Apr 2022 17:18 WIB

DEN: Perlu Pola Distribusi Tertutup untuk BBM dan LPG Subsidi

Pola subsidi tertutup agar tepat sasaran kepada masyarakat yang berhak.

Rep: ANTARA/ Red: Fuji Pratiwi
Warga antre membeli gas elpiji tiga kilogram bersubsidi pada pasar murah di Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (22/4/2022). Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha mengatakan pendistribusian bahan bakar minyak (BBM) dan LPG bersubsidi perlu dilakukan dengan pola tertutup agar tepat sasaran.
Foto: ANTARA/Mohamad Hamzah
Warga antre membeli gas elpiji tiga kilogram bersubsidi pada pasar murah di Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (22/4/2022). Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha mengatakan pendistribusian bahan bakar minyak (BBM) dan LPG bersubsidi perlu dilakukan dengan pola tertutup agar tepat sasaran.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha mengatakan pendistribusian bahan bakar minyak (BBM) dan LPG bersubsidi perlu dilakukan dengan pola tertutup agar tepat sasaran kepada masyarakat yang berhak.

Menurut Satya, dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (23/4/2022), ekonomi pasar tidak bisa diterapkan dalam pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia, sehingga perlu strategi subsidi yang tepat sasaran. "Apabila pola distribusi energi masih terbuka seperti ini, maka akan terjadi permasalahan yang berulang ke depannya. Perlu ide atau solusi untuk dilakukan distribusi secara tertutup," kata Satya saat menjadi narasumber dalam diskusi Indonesia Business Forum dengan tema "Subsidi BBM Membengkak, Penyimpangan Merajalela, Rakyat Menderita".

Baca Juga

Data per Maret 2022, kata dia, telah terjadi kelebihan kuota BBM subsidi di 25 dari 34 provinsi. "Kelebihan kuota ini akan membebani keuangan negara, sehingga perlu adanya langkah strategis untuk menyelesaikan masalah ini," katanya.

Satya juga mengatakan dengan disparitas tinggi antara harga minyak solar subsidi dan nonsubsidi yang mencapai Rp 8.550 per liter, maka tidak menutup kemungkinan banyak terjadi penyalahgunaan dikarenakan pasokan yang terbatas, sedangkan permintaan tinggi.

Meski, lanjutnya, penggunaan BBM subsidi sebenarnya sudah diatur yakni kendaraan bermotor perseorangan roda empat maksimal 60 liter per hari, sedangkan kendaraan angkutan orang atau barang roda enam atau lebih maksimal 200 liter per hari. "Kelangkaan BBM bersubsidi ini menjadi tugas kita bersama. Saya tidak yakin BPH Migas bisa sendirian melakukan pemeriksaan ke seluruh SPBU di Indonesia dengan SDM yang terbatas. Oleh sebab itu, perlu adanya sistem terpadu dan melibatkan pemerintah daerah serta aparat hukum," ujar Satya.

Satya juga menjelaskan saat ini sudah ada Perpres Nomor 41 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan dan Penanggulangan Krisis Energi dan/atau Darurat Energi. Sesuai beleid itu kondisi krisis terjadi apabila pasokan tidak terjamin, sedangkan apabila infrastruktur yang terkena misalnya terjadi kebakaran, maka menjadi darurat.

DEN pun telah melakukan beberapa rapat koordinasi dengan melibatkan Bareskrim Polri dan BIN yang bertujuan mencegah potensi krisis sekaligus menyosialisasikan Perpres 41/2016.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement