REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Pendukung pemerintah menyerang pengunjuk rasa yang berkemah di luar kantor perdana menteri Sri Lanka pada Senin (9/5/2022). Serikat pekerja memulai "Pekan Protes" yang menuntut perubahan pemerintah dan meminta presiden untuk mundur karena krisis ekonomi terburuk dalam sejarah negara itu.
Pendukung Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa berunjuk rasa di dalam kantor pada Senin pagi. Mereka mendesak untuk mengabaikan tuntutan para pengunjuk rasa untuk mundur dan meminta dia tetap menjabat.
Setelah unjuk rasa, mereka pergi ke depan kantor tempat para pengunjuk kubu seberang rasa lain yang telah berdemonstrasi selama beberapa hari. Saluran televisi lokal Sirasa menunjukkan pendukung pro pemerintah menyerang pengunjuk rasa lain dengan tongkat, menghancurkan, dan kemudian membakar tenda.
Para pengunjuk rasa yang menuntut pengunduran diri Rajapaksa mencapai hari ke-31 yang menempati pintu masuk kantor presiden. Mereka telah menuntut agar presiden, kakak laki-lakinya Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa dan anggota keluarga Rajapaksa yang berkuasa lainnya mundur. Protes serupa telah menyebar ke lokasi lain, dengan orang-orang mendirikan kamp di seberang kediaman perdana menteri dan di kota-kota lain di seluruh negeri.
Para pengunjuk rasa telah memadati jalan-jalan sejak Maret, menyatakan bahwa Rajapaksa dan keluarganya bertanggung jawab atas krisis tersebut. Sejauh ini, Rajapaksa bersaudara telah menolak seruan untuk mengundurkan diri, meskipun tiga Rajapaksa dari lima anggota parlemen mengundurkan diri dari jabatan Kabinet pada April.
Sementara itu, serikat pekerja menyerukan protes sepanjang minggu ini. Aktivis serikat pekerja Saman Rathnapriya mengatakan, lebih dari 1.000 serikat pekerja yang mewakili kesehatan, pelabuhan, pendidikan, dan sektor jasa utama lainnya telah bergabung dengan gerakan "Pekan Protes" yang dimulai sejak Senin.
Rathnapriya mengatakan, para pekerja akan melakukan demonstrasi di tempat kerja di seluruh negeri selama seminggu. Pada akhir minggu, mereka akan melancarkan pawai besar-besaran ke Parlemen, menuntut pencopotan Presiden Gotabaya Rajapaksa dan pemerintahan baru.
Selama beberapa bulan, warga Sri Lanka mengalami antrean panjang untuk membeli bahan bakar, gas untuk memasak, makanan, dan obat-obatan, yang sebagian besar berasal dari luar negeri. Kekurangan mata uang juga telah menghambat impor bahan mentah untuk manufaktur dan memperburuk inflasi, yang melonjak menjadi 18,7 persen pada Maret.
Orang-orang memblokir jalan-jalan utama untuk menuntut gas dan bahan bakar. Pada akhir pekan, saluran televisi lokal Hiru menunjukkan orang-orang di beberapa daerah berebut bahan bakar.
Sri Lanka akan membayar 7 miliar dolar AS dari utang luar negerinya tahun ini dari hampir 25 miliar dolar AS yang harus dibayar pada 2026. Total utang luar negerinya adalah 51 miliar dolar AS. Kementerian Keuangan Sri Lanka mengumumkan awal pekan ini bahwa cadangan devisa negara yang dapat digunakan telah anjlok di bawah 50 juta dolar AS.