REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pesatnya perkembangan teknologi digital atau sering disebut revolusi digital, telah menyebabkan perubahan secara signifikan dalam berbagai bidang kehidupan. Banyak manfaat yang diperoleh dari kemajuan teknologi digital bagi kehidupan manusia, namun di sisi lain, perkembangan teknologi digital dapat menghadirkan berbagai permasalahan, tantangan, bahkan bisa menjadi sumber ancaman terhadap keamanan nasional.
Hal tersebut disampaikan Ketua Umum Keluarga Besar FKPPI Pontjo Sutowo pada Webinar “Perkembangan Lingkungan Strategis dan Dinamika Ancaman Bagi Indonesia” yang diprakarsasi Dewan Pakar FKPPI dalam rangka Hari Kebangkitan Nasional, Jumat (20/5/2022).
“Harus disadari bahwa, melalui media digital, spektrum ancaman terhadap keamanan nasional menjadi begitu luas, dapat berbentuk penyusupan berbagai ideologi/paham yang tidak sesuai dengan Pancasila, penetrasi budaya, penyesatan pikir melalui hoax, cyber terrorism, cyber crime, bahkan cyber-war,” kata Pontjo dalam keterangannya yang diterima Republika.co.id, Jumat (20/5/2022).
Tak hanya itu, dari kajian sosiologi, lanjut Pontjo, digitalisasi dapat menghadirkan masalah serius terhadap berbagai prinsip dalam kehidupan masyarakat, terutama relasi sosial. Anggota masyarakat baik sebagai individu maupun kelompok dengan mudah saling terhubung dan membangun interaksi sosial di dalam dunia virtual dan mengabaikan realitas yang terjadi di dalam dunia nyata.
“Para ahli sosiologi menyebut interaksi di dalam ruang virtual ini bukanlah realitas sosial, melainkan sebuah relasi yang bersifat artifisial, di dalam sebuah teritorial halusinasi,” ucap Pontjo.
Dan apabila relasi seperti ini terus membudaya terutama sangat dimungkinkan dalam masa pandemi covid-19, maka dapat berpotensi menyebabkan terjadinya berbagai masalah sosial dan bahkan ancaman bagi kehidupan bangsa dan negara.
Mengutip pernyataan Daron Acemoglu dan James Robinson dalam bukunya “Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity and Poverty (2012)” yang mengingatkan bahwa kegagalan suatu negara tidak terjadi dengan tiba-tiba, maka membangun kesadaran dan kewaspadaan kolektif bangsa terhadap perkembangan lingkungan terutama perkembangan berbagai bentuk ancaman harus terus diupayakan dari waktu ke waktu.
Menurut Pontjo, untuk membangun kesadaran dan kewaspadaan kolektif bangsa, tentu tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah, meski tanggung jawab konstitusional utama untuk mewujudkan seluruhnya itu terletak di atas bahu Pemerintah. Diperlukan partisipasi seluruh elemen bangsa yang peduli dengan kelangsungan hidup bangsa ini, tak terkecuali FKPPI yang dilahirkan oleh Keluarga Besar TNI/Polri.
Lebih lanjut Pontjo mengimbau, agar FKPPI tidak bersikap abai (ignorance) apalagi kehilangan kewaspadaan (alertness) dengan perkembangan bentuk ancaman terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena sikap abai adalah kebodohan yang paling fatal dan kewaspadaan adalah harga sebuah kemerdekaan, sebagaimana selalu diingatkan oleh almarhum Jenderal (Purn) Widjojo Soejono.
Dengan mengenali ancaman, menurut Pontjo, FKPPI akan mampu ikut mencegah kemungkinan NKRI menjadi Negara gagal (Failed State) sebagaimana warning The Fund For Peace melalui “Indeks Negara Gagal (Fragile States Index)” yang dipublikasikan pada tahun 2019.
Pontjo mengingatkan, bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara yang dalam banyak hal, saat ini tidak sedang baik-baik saja. Fenomena menurunnya komitmen kepada norma dasar dan semangat kebangsaan di sebagian masyarakat semakin bermunculan.
Dan fenomena menurunnya komitmen berbangsa dan bernegara tersebut sangat merugikan bahkan bisa mengancam kehidupan bangsa dan negara. Seperti adanya fragmentasi di sebagian masyarakat yang masih mempertentangkan antara Pancasila dan Negara, antara agama dan kebangsaan; konflik dan perpecahan di kalangan elit; pembelahan/segregasi di dalam masyarakat, baik karena perbedaan aspirasi politik maupun perbedaan latar belakang lainnya, politisasi sentiment primordial, dan lain-lainnya.
Melunturnya semangat kebangsaan seperti itu, menurut pandangan Pontjo, bukan tidak mungkin merupakan bagian dari Perang Generasi-IV atau Perang Generasi-V dewasa ini yang telah menjadikan seluruh bidang kehidupan sebagai sasarannya untuk menghancurkan sebuah bangsa dari dalam dirinya sendiri (self distruction). Ditambah lagi, semakin berkembangnya globalisme yang berusaha menyingkirkan faham nasionalisme seperti yang dikemukakan antara lain oleh Kenichi Ohmae dalam bukunya “The End of Nation State” (1995).
“Tentu bangsa ini harus cerdas dalam meresponse perkembangan ini, termasuk juga keluarga besar FKPPI,” tandas Pontjo.
Sebelumnya, Letjend TNI (Purn) Kiki Syahnakri, Ketua Dewan Pakar FKPPI dalam sambutan pembukanya mengatakan, webinar ini merupakan langkah awal program dewan pakar FKPPI dalam rangka memberikan masukan kepada pengurus pusat FKPPI terkait masalah kebangsaan dan negara khususnya mengenai keamanan dan kesejahteraan.
“Keluarga Besar FKPPI senantiasa memerlukan update tentang perkembangan lingkungan strategis dan dinamika ancaman yang terjadi,” tandas Kiki.
Webinar yang rencananya akan digelar setiap tiga bulan sekali tersebut menghadirkan narasumber Prof. Dr. Imron Cotan dengan tema: “Perkembangan Tatanan Politik dan Ekonomi Global serta Pengaruhnya Terhadap Indonesia” dan Laksamana Muda (Purn) Robert Mangindaan, dengan tema “Peran FKPPI dalam Menghadapi Perkembangan Lingkungan Strategis dan Kemungkinan Ancaman Bagi Indonesia".