REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia menerima permintaan fatwa dari pemerintah terkait penyakit mulut dan kuku (PMK) pada hewan. Permintaan fatwa ini berkaitan dengan persiapan pelaksanaan Idul Adha 1443 H.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat KH Miftahul Huda menyampaikan permintaan fatwa merupakan kelanjutan dari hasil rapat koordinasi persiapan pelaksanaan qurban 1443 H di tengah wabah PMK pada 13 Mei lalu. Hal ini mengingat angka kesakitan PMK sangat tinggi dengan tingkat penularan yang cepat.
"Kami akan melakukan pendalaman materi pada Jumat besok. Dan secepatnya diumumkan jika sudah tuntas," kata dia kepada Republika.co.id, Selasa (24/5/2022).
Kiai Muftahul mengatakan, pemerintah menjelaskan adanya potensi sebagian besar hewan qurban di daerah wabah dan tertular berada dalam kondisi sakit atau menunjukkan gejala klinis PMK. Dalam kondisi ini, pemerintah memerlukan pemaparan soal apakah hewan yang sakit, khususnya yang berada di daerah wabah dalam situasi kedaruratan, itu layak digunakan digunakan sebagai hewan qurban.
Pemerintah melalui kementerian atau lembaga terkait, lanjut Kiai Miftahul, juga menyinggung tentang pengendalian PMK dengan vaksinasi sehingga hewan harus diberi tanda berupa eartag dan barcode. Dampaknya telinga menjadi berlubang dan bertato. Dalam kondisi ini, pemerintah meminta fatwa soal apakah hewan tersebut layak sebagai hewan qurban.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa KH Asrorun Ni'am Sholeh menyampaikan, MUI akan mendalami seperti apa PMK dan sejauh mana tingkat bahayanya. Termasuk apakah PMK berdampak bagi kesehatan dan sejauh mana mudharatnya.
"Apakah mudharatnya sampai menjadi faktor yang menghalangi hewan untuk bisa sah sebagai qurban atau tidak, itu kita dalami. Jadi tidak bisa buru-buru langsung berkesimpulan sebelum ada pemahaman utuh," tuturnya.
Pada prinsipnya, ibadah qurban masuk kategori ibadah mahdlah dan merupakan cerminan ketertundukan dan kepatuhan seorang Muslim kepada Allah SWT. Terikat tata cara tertentu, waktu tertentu, dan jenis hewan tertentu. Pelaksanaannya pun harus mengikuti syarat dan rukunnya.
Kiai Asrorun menambahkan, pelaksanaan ibadah qurban juga harus dipastikan mendatangkan maslahat dan mencegah terjadinya mudharat. Karena itu, hewan yang akan dijadikan hewan qurban harus memenuhi syarat, termasuk syarat minimal usia, kondisi fisik, dan kesehatan.