Ahad 29 May 2022 11:45 WIB

Kekerasan Meningkat Usai Pemimpin Pro-Kemerdekaan Kashmir Dipenjara

India menjatuhkan penjara seumur hidup kepada Yasin Malik.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Teguh Firmansyah
Tentara paramiliter India berpatroli di dekat lokasi baku tembak di pinggiran Srinagar, India, Rabu, 16 Maret 2022.
Foto: AP/Dar Yasin
Tentara paramiliter India berpatroli di dekat lokasi baku tembak di pinggiran Srinagar, India, Rabu, 16 Maret 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, SRINAGAR -- Sebanyak 10 pemberontak meninggal dunia di Kashmir yang dikelola India sejak pengadilan India menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada pemimpin pro-kemerdekaan Kashmir Yasin Malik awal pekan ini. Polisi wilayah tersebut mengatakan, empat tersangka pemberontak meninggal dalam dua baku tembak terpisah di wilayah yang disengketakan pada Jumat (27/5).

Sehari sebelumnya, para pejabat Kashmir mengatakan, pasukan keamanan membunuh enam pemberontak di wilayah itu dalam 24 jam terakhir. Sementara pemberontak menembak mati seorang pembawa acara televisi berusia 35 tahun dan seorang petugas polisi.

Baca Juga

"Tiga milisi masing-masing dari Jaish-e-Muhammad dan Lashkar-e-Taiba meninggal dalam dua baku tembak terpisah,” kata kepala polisi Kashmir Vijay Kumar merujuk pada dua kelompok pemberontak yang bertempur di wilayah tersebut.

"Kami juga kehilangan seorang polisi dalam salah satu operasi," katanya dikutip dari Aljazirah.

Polis juga menangkap sedikitnya 10 orang setelah protes anti-India atas hukuman terhadap Malik pada Rabu (25/5).  Malik memimpin Jammu and Kashmir Liberation Front (JKLF) dan menjadi salah satu kelompok pemberontak bersenjata pertama di Kashmir yang dikelola India. Dia kemudian beralih ke cara damai dalam mengakhiri kekuasaan India di wilayah itu.

Malik ditangkap pada 2019 dan divonis pekan lalu atas tuduhan melakukan tindakan teroris, mengumpulkan dana secara ilegal, menjadi anggota organisasi teroris, konspirasi, serta hasutan kriminal. Sebelum hukuman pada Rabu, puluhan warga Kashmir berkumpul di rumah Malik di Srinagar, kota terbesar di Kashmir yang dikelola India.

Beberapa orang berbaris di jalan-jalan, meneriakkan "Kami ingin kebebasan" dan "Kembali ke India". Polisi sehari kemudian mengumumkan di Twitter, bahwa 10 pemuda ditangkap karena slogan anti-nasional dan pelemparan batu di luar rumah Yasin Malik.

Dari beberapa kicauan polisi tersebut, terdapat foto para pelaku yang ditangkap berdiri berjajar sambil menutup telinga dengan kedua tangan, sebuah tindakan yang dianggap sebagai bentuk penghinaan publik dan ekspresi penyesalan. Mengenakan pakaian kasual dan sandal, orang-orang yang ditangkap terlihat melihat ke tanah, saat dua polisi dengan senapan otomatis berjaga.

Membuat penduduk Kashmir memegang daun telinga atau melakukan sit-up di pinggir jalan adalah hal biasa pada 1990-an. Tindakan ini dilakukan pasukan pemerintah untuk mempermalukan orang dan menghalangi untuk mendukung pemberontak bersenjata yang memerangi pemerintahan India di wilayah Himalaya. Namun, dalam beberapa tahun terakhir praktik semacam itu sebagian besar telah dihentikan sebagai bentuk hukuman.

"Penghasut utama hooliganisme ini akan didakwa di bawah PSA," kata polisi mengacu pada Undang-Undang Keamanan Publik yang memungkinkan pemerintah India untuk memenjarakan siapa pun hingga dua tahun tanpa pengadilan.

"Aktivitas anti-nasional dan sikap provokatif semacam itu akan selalu ditangani secara ketat serta dengan kekuatan hukum penuh," ujar kepolisian.

Sementara itu, manajemen masjid utama Srinagar, sebuah bangunan berusia 600 tahun yang juga merupakan tempat populer protes anti-India, menuduh pihak berwenang tidak mengizinkan pelaksanaan shalat Jumat. Manajemen Masjid Jamia mengatakan pihak berwenang mengunci tempat itu dengan menolak baik laki-laki atau perempuan yang datang untuk salat Jumat.

"Orang-orang, terutama orang tua, perempuan, dan pemuda dari jauh datang ke masjid bersejarah ini, dan mendapatinya berulang kali dikunci membuat mereka sangat sedih,” kata pernyataan tersebut..

Masjid bersejarah itu tetap ditutup selama hampir dua tahun setelah India mencabut status khusus Kashmir pada 2019. Pemerintah mengatakan khawatir jamaah besar di masjid bisa berubah menjadi protes. Kemudian, penutupan itu merupakan bagian dari pembatasan Covid-19.

Kashmir yang dikelola India merupakan satu-satunya wilayah mayoritas Muslim di negara itu. Wilayah ini terbagi antara India dan Pakistan sejak penjajah Inggris memberikan kemerdekaan pada 1947. Kedua negara mengeklaim wilayah itu secara keseluruhan dan telah berperang selama dua kali untuk memperebutkan kendalinya.

Pemberontak bersenjata di Kashmir yang dikelola India telah memerangi pemerintahan sejak 1989. Sebagian besar Muslim Kashmir mendukung tujuan pemberontak untuk menyatukan wilayah itu, baik di bawah kekuasaan Pakistan atau sebagai negara merdeka.

India menegaskan pemberontakan Kashmir disponsori oleh Pakistan, yang menyangkal tuduhan itu. Kebanyakan orang Kashmir menganggapnya sebagai perjuangan kebebasan yang sah. Puluhan ribu warga sipil, pemberontak dan pasukan pemerintah gugur dalam konflik tersebut.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement