Jumat 03 Jun 2022 03:05 WIB

Hindutva Pop, Aliran Musik Nasionalis Hindu India dengan Lirik Anti-Muslim

Beberapa bulan terakhir, India menyaksikan kekerasan agama selama festival Hindu.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Friska Yolandha
Orang-orang menikmati malam di pantai Juhu di pantai Laut Arab di Mumbai, India, Senin, 23 Mei 2022. Beberapa bulan terakhir, India menyaksikan kekerasan agama selama festival Hindu.
Foto:

Video lagu tersebut direkam di Kuil Dasna Devi di Ghaziabad. Kuil ini dikelola oleh Yati Narsinghanand, seorang pemimpin Hindutva kontroversial yang baru-baru ini ditangkap karena pidato kebenciannya terhadap Muslim. 

“Mitologi Hindu hilang dari kurikulum sekolah. Lewat lagu-lagu saya, saya ingin anak-anak mengenang para pejuang Hindu,” ujar Rana.

Hindu nasionalis yang menyanyikan lagu-lagu provokatif tersebut adalah bagian dari kelompok dikenal sebagai "pop safron". Warna safron identik dengan agama Hindu dan disukai oleh kelompok Hindu nasionalis. Sebagian besar lagu secara terbuka menyerukan pembunuhan terhadap Muslim dan mereka yang tidak mendukung “Hindutva". Lagu-lagu ini adalah contoh paling jelas dari meningkatnya sentimen anti-Muslim di seluruh negeri.  Umat Muslim India khawatir, lagu kebencian itu menjadi alat bagi nasionalis Hindu untuk menargetkan mereka.

Lagu-lagu yang dipenuhi kebencian terhadap umat Muslim telah semakin meningkatkan ketegangan. Tetapi para pencipta lagu-lagu tersebut menilai, nyanyian ini sebagai bentuk pengabdian pada iman mereka dan menegaskan diri untuk bangga menjadi Hindu nasionalis. 

“India adalah negara Hindu dan lagu saya merayakan agama kami. Apa yang salah dengan itu?," kata seorang penyanyi, Sandeep Chaturvedi.

Secara historis, musik merupakan bagian penting dari agama Hindu. Mereka menggunakan lagu-lagu untuk memuji berbagai dewa Hindu. Namun para pengamat mengatakan, kebangkitan nasionalisme Hindu secara bertahap telah mendorong munculnya musik yang lebih agresif dan memiliki sentimen anti-Muslim.

Seorang pengacara yang berbasis di Uttar Pradesh, Areeb Uddin mengatakan, lagu-lagu kebencian terhadap Muslim sama dengan ujaran kebencian. “Sudah waktunya yurisprudensi ujaran kebencian harus dilakukan, dan sudah waktunya bagi pengadilan atau badan legislatif terkait membuat pedoman untuk kasus-kasus seperti di mana kebencian dituangkan dan tidak ada tindakan yang diambil,” katanya.

Seorang profesor di Universitas Jawaharlal Nehru yang berbasis di New Delhi, Brahma Prakash, mengatakan, musik kebencian telah mengubah pola kekerasan agama di India. “Kami tahu pola sejarah kerusuhan dan pembantaian di India. Pemimpin akan memberikan pidato dan kerusuhan akan tumpah ke jalan-jalan. Tapi sepertinya polanya sudah berubah. Anda tidak membutuhkan seorang pemimpin. Yang Anda butuhkan adalah 'dorongan Bhakti',” kata Prakash.

'Bhakti' dalam bahasa Hindi secara harfiah berarti pengabdian. Tetapi 'Bhakti' juga digunakan untuk merujuk pada pendukung BJP.

“Anda tinggal memainkan DJ (disc jockey) dan itu akan memenuhi tugasnya. Ini akan menggerakkan massa dan membuat mereka berpartisipasi dalam pembantaian. Anda tidak perlu penghasut untuk menghasut kekerasan.  Anda mengatur nada, Anda mengatur trek dan kebencian akan mengguncang," ujar Prakash.

Prakash mengatakan bentuk musik ini memiliki kesamaan yang "mengejutkan" dengan yang diproduksi di bawah rezim Nazi di Jerman pada 1930-an. "Musik yang menggerakkan orang banyak menjadi hiruk-pikuk emosional bukan hanya beberapa resonansi.  Kesamaannya mengejutkan," ujarnya.

Prakash mengatakan produksi massal "pop Hindutva" adalah fenomena baru. "Dulu itu dilakukan oleh organisasi politik. Bahayanya adalah sekarang itu menjadi bagian dari budaya massa,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement