Oleh : Rusdy Nurdiansyah/Jurnalis Republika.
REPUBLIKA.CO.ID, Embun-embun mulai tak bergairah saat matahari yang cerah menyinari halaman sekolah. Pagi itu terlihat indah.
Sorak sorai para siswa menyambut kemeriahan tahun ajaran baru. Tapi sebaliknya, usai upacara bendera, guru-guru menyungging senyuman kecut seiring matahari yang mulai memanas. Usai upacara, para siswa berhamburan ke ruang kelas, namun guru-guru berdiri mematung menyaksikan kegaduhan di luar pagar sekolah.
Sejumlah orang yang tak dikenal berteriak dengan makian dan ancaman yang tak karuan kepada para guru dan kepala sekolah. Mereka yang mengaku para orang tua siswa itu memaksa agar anak-anaknya dapat bersekolah di salah satu SMAN favorit di Kota Depok. Ada juga yang mengaku sebagai wartawan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dengan membawa puluhan siswa titipan untuk didaftarkan.
Kisah lainnya, ada pemandangan berbeda yang mungkin membuat mata para bapak-bapak guru tak mampu berkedip. Seorang wanita cantik dan seksi terlihat sibuk mondar-mandir di lingkungan sekolah di SMPN/SMAN/SMKN di Kota Depok.
Ada apa gerangan wanita tersebut mendatangi sekolah-sekolah dan bertemu dengan kepala sekolah? Dari bisik-bisik para guru, wanita cantik tersebut merupakan utusan salah satu oknum anggota DPRD Kota Depok yang ditugasi untuk membawa ratusan data siswa titipan.
Kisah terbilang nekat juga pernah terjadi saat ratusan calon siswa titipan dipaksa belajar di lantai di dua ruang kelas yang sedang dibangun di salah satu SMAN oleh oknum orang yang mengaku wartawan dan LSM. Padahal proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sudah berakhir, bahkan proses belajar-mengajar pun sudah berjalan.
Ratusan orang tua siswa yang menemani anaknya itu juga mempertanyakan status anaknya ke pihak sekolah. Pihak sekolah pun menjawab tidak bertanggung jawab karena si anak tidak terdaftar secara resmi dalam proses PPDB. Beberapa orang tua siswa mengaku sudah membayar sejumlah uang untuk dapat bersekolah di sekolah negeri ke para calo yang mengaku wartawan dan LSM.
Kisah usang PPDB Kota Depok terus bergulir setiap tahunnya. Banyak orang tua siswa yang mendadak mengaku sebagai wartawan dan LSM serta para oknum wartawan, kejaksaan, polisi, dan DPRD menitipkan sejumlah siswa. Dan, di Kota Depok sudah menjadi rahasia umum, siswa titipan dijadikan ajang bisnis tahunan PPDB.
Sejumlah orang tua siswa titipan mengaku mengeluarkan dana Rp 5 juta hingga Rp 15 juta agar buah hatinya bersekolah di sekolah negeri. Bahkan, untuk masuk di sekolah negeri favorit orang tua siswa tak sungkan merogoh kocek Rp 20 juta hingga Rp 30 juta.
Caci maki hingga ancaman kerap dialami para kepala sekolah (kepsek). Seorang kepsek menceritakan pengalamannya, ada salah satu ibu, anggota DPRD Kota Depok, ngotot minta diakomodasi beberapa siswa dengan alasan menolong siswa miskin yang berada di wilayah pemilihannya.
"Ketika ditolak, waduh marahnya minta ampun. Tiap saat kirim pesan mencaci maki karena siswa bawaannya tidak diakomodir. Padahal, kalau dilihat parasnya cantik, tapi sayang perilakunya nggak banget,'' ungkap seorang kepsek yang saat musim PPDB Kota Depok kerap 'dikepung' orang-orang yang mengaku wartawan dan LSM.
Para kepsek kesal karena para calo PPDB yang mengaku wartawan dan LSM ini bukan menitipkan siswa satu atau dua orang, tapi membawa daftar puluhan hingga ratusan siswa. Mereka terang-terangan minta jatah siswa dan sudah tidak tahu malu lagi. Kalau tidak dituruti, lanjut kepsek itu, mereka mengancam akan melakukan aksi demo, mengancam akan membongkar kasus korupsi, dan mengancam melaporkan ke Ombudsman dengan tuduhan adanya maladministrasi dan pungli.
Bagi para kepsek, gonjang-ganjing PPDB yang penuh dengan makian dan ancaman tentu membuat takut. Para kepsek kadang harus menghindar serta memutus semua saluran komunikasi, seperti mematikan telepon genggam. Tapi, kadang mereka tak bisa selamanya ngumpet dan terpaksa harus menghadapinya. Ancaman dan makian sudah menjadi risikonya.
Begitulah kisah usang PPDB yang seakan episodenya tak pernah berakhir dan terus berulang setiap tahunnya hingga membuat resah para kepsek dan guru di seluruh jenjang pendidikan, terutama sekolah menengah pertama negeri (SMPN), SMAN, dan SMKN.
Ada banyak faktor PPDB Kota Depok selalu kisruh, salah satunya karena jumlah sekolah negeri terutama untuk tingkat SMP dan SMA/SMK tidak cukup menampung siswa yang ingin bersekolah di sekolah negeri. Tercatat jumlah SDN di Kota Depok yakni 221 SDN, sedangkan jumlah SMPN di Kota Depok hanya 33 SMPN. Adapun jumlah SMAN hanya 15 SMAN dan tiga SMKN. Ini belum menghitung puluhan SD dan SMP swasta di Depok yang siswanya juga ingin masuk SMA negeri.
Sejak 2019 jenjang SMA dan SMK di Kota Depok menjadi kewenangan Dinas Pendidikan (Disdik) Provinsi Jawa Barat (Jabar). Dan, teror para calo PPDB pun berpindah ke Kantor Cabang Disdik (KCD) Jabar Wilayah II Depok-Bogor dan Disdik Provinsi Jabar.
***