Rabu 08 Jun 2022 14:32 WIB

Sri Mulyani Soroti Belanja Perlindungan Sosial Daerah yang Masih Rendah

Dengan otonomi, masyarakat juga seharusnya dilindungi oleh daerah melalui APBD.

Rep: Novita Intan/ Red: Fuji Pratiwi
Menteri Keuangan Sri Mulyani. Sri Mulyani menyoroti rendahnya belanja perlindungan sosial daerah yang masih minim.
Foto: Thoudy Badai_Republika
Menteri Keuangan Sri Mulyani. Sri Mulyani menyoroti rendahnya belanja perlindungan sosial daerah yang masih minim.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pemerintah menyoroti rendahnya belanja perlindungan sosial daerah yang masih minim. Tercatat belanja daerah dalam tiga tahun terakhir baru sebesar Rp 11 triliun, sementara belanja bansos dalam APBN telah sebesar Rp 400 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan kondisi tersebut sangat jauh berbeda dibandingkan dengan belanja perlindungan sosial pemerintah pusat hampir mendekati Rp 500 triliun pada tahun 2020 karena adanya pandemi Covid-19.

Baca Juga

"Belanja sosial APBD itu berapa? Cuma Rp 11 triliun," ujar Sri Mulyani, Rabu (8/6/2022).

Menurutnya penyaluran belanja bantuan sosial yang cenderung kecil tersebut, menandakan pos belanja yang bertujuan melindungi dan menjamin kesejahteraan warga masih didominasi oleh pemerintah pusat. Padahal, pemerintah sudah memberi keleluasaan melalui otonomi daerah.

"Saya ingin juga di depan DPD untuk meminta perhatian, kalau Bapak dan Ibu sekalian wakil-wakil daerah, dengan sistem otonomi dan desentralisasi, sebetulnya kesehatan dan pendidikan itu didelegasikan ke daerah. Masyarakat juga seharusnya dilindungi oleh daerah," ucapnya.

Dia juga menyoroti belanja kesehatan saat pandemi Covid-19 banyak didanai oleh pemerintah pusat. Adapun belanja itu antara lain insentif tenaga kesehatan, pengadaan vaksin dan pembayaran klaim pasien Covid-19 di seluruh Indonesia.

"Hal ini menggambarkan bahwa APBN kalau dia bekerja di pusat sebetulnya pada akhirnya yang menikmati adalah daerah dan rakyat juga," ucapnya.

Pada 2019, belanja perlindungan sosial pemerintah pusat sebesar Rp 308,4 triliun, kemudian pada 2020 sebesar Rp 498 triliun, pada 2021 sebesar Rp 469,4 triliun, pada 2022 dialokasikan sebesar Rp 431,5 triliun, dan bahkan pada 2023 diasumsikan senilai Rp 432,2 triliun sampai Rp 441,3 triliun.

Tak hanya belanja perlinsos, lanjut dia, belanja kesehatan juga masih didominasi pemerintah pusat terutama saat pandemi terjadi, khususnya belanja vaksinasi, pembiayaan perawatan, dan insentif dokter.

Sementara belanja pendidikan yang juga menjadi salah satu belanja prioritas, pemerintah pusat pun terkadang masih mengatur untuk gaji guru dan sebagainya.

"Belanja memang tujuannya untuk membangun ekonomi dan masyarakat Indonesia menjadi lebih baik kualitasnya, baik pendidikan, kesehatan, jaminan sosial dan dari sisi infrastruktur termasuk infrastruktur dasar seperti air bersih, irigasi, jalan raya dan bahkan telekomunikasi," ungkap Sri Mulyani.

Sri Mulyani menilai anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) telah berhasil menjadi peredam kejut atau shock absorber yang luar biasa saat Covid-19 melanda, sehingga diharapkan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) juga bisa mencontoh.

Hal tersebut karena masyarakat di Indonesia sepatutnya dilindungi oleh pemerintah daerah pula, bukan hanya pemerintah pusat. "Ini hanya untuk menggambarkan bahwa APBN yang bekerja di pusat sebetulnya pada akhirnya yang menikmati adalah daerah dan rakyat juga," ucapnya.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement