Sabtu 18 Jun 2022 14:03 WIB

Alami Darah Istihadhah dan Ingin Sholat? Perhatikan 3 Catatan Ibnu Qayyim Berikut Ini 

Muslimah yang alami istihadhah penting memastikan siklus haid bulanannya

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nashih Nashrullah
Kaum Muslimah saat melaksanakan shalat (Ilustrasi).
Foto: Antara
Kaum Muslimah saat melaksanakan shalat (Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sebagian Muslimah ada yang tidak dapat membedakan antara darah haid dengan istihadhah kemudian menjadikan alasan tersebut untuk meninggalkan sholat. Bagaimana ketentuan syariatnya? 

Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dalam kitab Fikih Shalat menjelaskan, haid adalah darah yang Allah SWT tetapkan untuk kaum wanita setiap bulan pada umumnya. Adapun bagi wanita yang mengalami istihadhah, setidaknya ada tiga kondisi yang menyertainya.  

Baca Juga

Pertama, jika dia baru pertama kali mengalami hal tersebut maka hendaknya pada setiap bulan selama darah itu keluar, dia tidak melakukan sholat, puasa, dan tidak boleh bersetubuh dengan suaminya sampai dia suci.

Hal itu dilakukan jika kondisi tersebut (keluarnya darah) berlangsung maksimal selama 15 hari atau kurang seperti yang yang dikatakan jumhur ulama.  

Kedua, untuk masa haid berikutnya, jika darahnya keluar secara terus-menerus lebih dari 15 hari, maka hendaknya dia menganggap dirinya haid selama enam atau tujuh hari dengan membandingkan wanita lain yang lebih mirip dengannya dan kerabatnya jika dia tidak bisa membedakan antara darah haid atau yang lainnya.  

Namun jika dia mampu membedakannya, maka dia tidak boleh sholat dan puasa serta bersetubuh dengan suaminya selama keluarnya darah haid yang dapat dibedakannya dari warnanya yang hitam dan baunya yang menyengat. Dengan syarat, hal tersebut tidak boleh lebih dari 15 hari.  

Ketiga, jika dia mengetahui kebiasaan waktu haidnya, maka dia harus menunggu sampai dia bersih menurut kebiasaannya dan kemudian mandi. Setelah itu jika ada darah yang terus keluar, maka itulah istihadhah.

Jika datang waktu sholat, dia harus berwudhu setiap kali sholat dan boleh bagi suaminya untuk menggaulinya sampai datang waktu haidnya pada bulan berikutnya.  

Dijelaskan bahwa ini merupakan ringkasan dari beberapa hadis Nabi Muhammad SAW tentang wanita mustahadhah, seperti telah diterangkan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Bulugh al-Maram dan Ibnu Taimiyah dalam kitab Al-Muntaqa.    

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
قَالَ يٰقَوْمِ اَرَءَيْتُمْ اِنْ كُنْتُ عَلٰى بَيِّنَةٍ مِّنْ رَّبِّيْ وَرَزَقَنِيْ مِنْهُ رِزْقًا حَسَنًا وَّمَآ اُرِيْدُ اَنْ اُخَالِفَكُمْ اِلٰى مَآ اَنْهٰىكُمْ عَنْهُ ۗاِنْ اُرِيْدُ اِلَّا الْاِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُۗ وَمَا تَوْفِيْقِيْٓ اِلَّا بِاللّٰهِ ۗعَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَاِلَيْهِ اُنِيْبُ
Dia (Syuaib) berkata, “Wahai kaumku! Terangkan padaku jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan aku dianugerahi-Nya rezeki yang baik (pantaskah aku menyalahi perintah-Nya)? Aku tidak bermaksud menyalahi kamu terhadap apa yang aku larang darinya. Aku hanya bermaksud (mendatangkan) perbaikan selama aku masih sanggup. Dan petunjuk yang aku ikuti hanya dari Allah. Kepada-Nya aku bertawakal dan kepada-Nya (pula) aku kembali.

(QS. Hud ayat 88)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement