REPUBLIKA.CO.ID, BADUNG -- Di Pertemuan Menteri Luar Negeri G20, Menteri Luar Negeri Jepang Hayashi Yoshamasa mengungkapkan keprihatinan atas dampak kenaikan harga pangan dan energi. Terutama bagi negara berkembang.
Hal ini ia sampaikan dalam sesi yang membahas pentingnya kerjasama internasional dalam menghadapi kenaikan harga pangan dan energi dan peran G20 di dalamnya. Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba turut hadir dalam sesi ini.
Dalam pernyataannya pada Jumat (8/7/2022) usai pertemuan tersebut Hayashi menekankan krisis ini tidak disebabkan sanksi yang diberlakukan pada Rusia atas invasinya ke Ukraina. Tapi disebabkan agresi Rusia sendiri terutama blokade Laut Hitam dan menghalangi ekspor gandum Ukraina.
Ia mengatakan sanksi yang diberlakukan G7 tidak menargetkan makanan dan pada faktanya berdasarkan data Dewan Gandum Internasional (IGC) tahun ini ekspor gandum Rusia tumbuh 13 perseb year on year. Menurut Hayashi tampaknya Rusia menggunakan energi dan pangan sebagai senjata politik.
"Dan karena itu bertanggung jawab penuh pada krisis saat ini," katanya dalam pernyataan tersebut.
Hayashi menekan demi membantu negara-negara yang ingin keluar dari krisis ini, Jepang telah menyediakan bantuan pangan dan kemanusiaan. Jepang, katanya, juga membantu meningkatkan produktivitas pertanian dan rantai pasokan.
Hayashi juga mengumumkan Jepang memutuskan memberi bantuan tambahan sekitar 200 juta dolar AS untuk mengatasi krisis pangan. Melalui pembangunan dan menambah kapasitas gudang gandum Ukraina serta bantuan-bantuan pangan ke Afrika dan Timur Tengah.
Ia mengatakan sangat penting untuk mengembalikan ekspor gandum Ukraina seperi sediakala dan masyarakat internasional harus mengatasi situasi saat ini yang disebabkan blokade ekspor Ukraina melalui jalur laut.
Hayashi mengatakan Jepang mendukung upaya PBB dan meminta Rusia mengembalikan ekspor Ukraina melalui jalur Laut Hitam. Ia menambahkan Jepang juga mengapresiasi inisiatif "Solidarity Lanes" Uni Eropa untuk membuka jalur ekspor Ukraina.