Barisan tengkorak dan tulang manusia senantiasa menyertai peringatan tahunan peristiwa 7 April di Rwanda. Sejarah mencatat kengerian hebat dalam tragedi genosida di negara itu 25 tahun lalu.
Tak kurang dari 800 ribu jiwa tewas dalam pembantaian massal 100 hari oleh Suku Hutu ekstrimis terhadap Suku Tutsi dan Hutu Moderat. Kala itu pihak yang menjadi penjaga perdamaian di Rwanda dikecam habis-habisan karena dianggap tidak becus meredam konflik.
Meski di satu sisi, negara adidaya seperti AS, Perancis, dan Inggris tak terlalu memperhatikan kasus tersebut. Sebab negara yang berada di Afrika Tengah itu dianggap tak mempunyai posisi strategis di kancah global.
Sehingga makin menambah keterpurukan di tubuh internal. Dunia mengenangnya, namun benarkah betul-betul mencegah kejadian serupa?
Nyatanya hingga detik ini berbagai ketegangan antar negara terus terjadi. Robert Malley dalam www.foreignpolicy.com telah mendaftar setidaknya terdapat sepuluh konflik yang mengancam dunia pada tahun 2019.
Rata-rata tragedi terjadi di negara-negara dunia ketiga, seperti di Suriah, Palestina, Myanmar, termasuk di Afrika Tengah. Tidak heran jika PBB dan Amerika Serikat yang mengklaim dirinya sebagai polisi dunia mulai diragukan kepiawaiannya dalam menekan perseteruan antar negara.
Apalagi di bawah kepemimpinan Donald Trump yang sesumbar dengan isu penarikan pasukan militer AS dari Suriah makin menunjukkan wajah asli negaranya. Alih-alih ingin menyelesaikan konflik, banyak fakta justru membuktikan bahwa negara-negara adidaya bahkan turut ‘mensukseskan’ berbagai serangan tersebut.
Sebagaimana diketahui bahwa sampai saat iniwargaSuriah terus-menerus terkena bombardir senjata militer pemerintah Assad yang bersekutu dengan Rusia. Sedangkan kelompok oposisi termasuk ISIS didanai dan dipersenjatai oleh AS yang nyatanya bermata ganda.
Satu sisi menarget kelompok pro pemerintah, namun di sisi lain jugamenyerang ISIS. Pada akhirnya Suriah menjadi ‘neraka’ bagi rakyatnya sendiri akibat peristiwa saling serang yang dimulai sejak Arab Spring tahun 2011.
Ratusan ribu nyawa masyarakat sipil melayang di ujung senjata militer maupun dengan serangan gas kimia. Selain itu, jutaan warga juga terpaksa mengungsi karena kebrutalan di negara mereka.
Seperti halnya konflik berkepanjangan di Palestina yang berlangsung puluhan tahun, Amerika malah membantu Israel mengambil alih negara tersebut. Sehingga Palestina kini hanya tersisa Jalur Gaza dan Tepi Barat, itupun tetap dalam kontrol Israel.
Meskipun sudah berkali-kali diadakan perjanjian, namun belum terlihat kemerdekan bagi rakyat Palestina atas negaranya. Hingga terakhir diberitakan bahwa Organisasi Kerjasama Islam (OKI) berupaya mendesak agar segera memberikan solusi dua negara bagi Palestina dan Israel.
Namun jika diteliti, bukankah solusi tersebut malah menyakiti umat Muslim yang meyakini bahwa tanah Palestina adalah milik mereka seutuhnya? Bagaimana bisa mereka diminta untuk ‘serumah’ dengan musuhnya?
Konflik lain yang nyata-nyata juga upaya genosida terjadi di Myanmar terhadap Etnis Rohingya. Hanya karena mereka adalah Muslim, pemerintah Myanmar melalui militernya tega melakukan pembantaian, pemerkosaan, serta pembakaran pemukiman.
Akhirnya ratusan ribu masyarakat mengungsi ke luar negaranya dengan sangat minim suaka. Bahkan Bangladesh yang menjadi salah satu negara harapan pengungsi-pun angkat tangan jika jumlah warga Rohingya bertambah di negaranya.
Sebuah dilema memang jika beberapa negara berupaya menampung pengungsi, namun lembaga internasional lebih banyak sebatas mengecam tanpa ada tindakan tegas bagi pemerintah Myanmar.
Jika dicermati, maka akan muncul kesimpulan bahwa pembantaian hingga genosida terjadi kebanyakan di negeri-negeri kaum Muslim. Sangat mudah bagi penjajah negara lain atau bahkan penguasanya sendiri menyiksa rakyat mereka yang mempertahankan keislamannya.
Sebut saja Muslim Uyghur di Xinjiang, yang hingga sekarang dalam cengkeraman ideologi komunis penguasanya. Lantas apakah cukup dengan berbagai kecaman ataupun bantuan yang diberikan kepada mereka? Faktanya usaha itu dari dulu juga sudah dilakukan namun nihil mencapai keberhasilan, memerdekakan negara tersebut.
Kaum Muslim diibaratkan satu tubuh sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah. Akan tetapi sekat nasonalisme memecah-mecah wilayah kekuasaan mereka. Sejak Musthafa Kemal At-Taturk menghabisi Khilafah Islamiyah tahun 1924 M, kaum Muslim benar-benar terpisah menjadi sedikitnya 51 negara.
Wajar jika penjajahan terjadi di negara-negara mereka saat ini, sebab Negara Islam sebagai pelindung telah tiada. Negara yang mampu melindungi kesatuan umat, justru sekarang menjadi phobia sejalan dengan berkiblatnya mereka terhadap tsaqofah Barat. Dampaknya, kaum Muslim dituntut untuk melindungi dirinya masing-masing dari serangan musuh.
Oleh karena itu, sudah seharusnya kaum Muslim mengembalikan lagi muruah agamanya dengan menerapkan Islam secara sempurna. Sehingga terpelihara dan terlindungi jiwa umat Muhammad, serta terjaga kehormatannya. Layaknya dulu, Islam yang pernah diterapkan selama 13 abad terbukti mampu menyejahterakan warganya baik dari kaum Muslim maupun nonMuslim.
Setiap negara terjajah akan di-futuhat (dimerdekakan) dengan dakwah dan jihad yang agung. Rakyat dari negara yang sudah dimerdekakan tidak tersekat bagai penjajah dan hamba sahaya, namun semua dianggap sebagai warga negara yang wajib dilayani. Maka kesejahteraan akan terjamin seluruhnya, insya Allah.
Pengirim: Cahya Wahyuning Ilahi, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang