Wacana penghapusan pelajaran agama dari kurikulum pendidikan, sempat viral di jagad media sosial belakangan ini. Isu ini banyak menuai protes dari para orangtua, masyarakat serta elite pemerintah. Wajar, jika rencana tersebut ditolak. Pasalnya, adanya pelajaran agama di sekolah saat ini saja, generasi muda masih jauh dari harapan. Maka tak terbayangkan apalah jadinya jika pelajaran tersebut benar dihapuskan. Bisa galau tak berkesudahan para orangtua.
Belum lama ini, wacana tersebut telah mendapat klarifikasi dari pihak Mendikbud dan Kemenag bahwa hal itu tidak benar. Meski demikian, perhatian publik terhadap pendidikan agama tak boleh beralih begitu saja. Karena, pendidikan agama justru menjadi benteng utama yang tak boleh luput dari seluruh elemen masyarakat dan negara. Terlebih, di tengah era disrupsi saat ini.
Selama ini, pelajaran agama di sekolah belum dapat dikatakan berhasil mewujudkan apa yang diharapkan. Output riil dari pelajaran agama seakan masih jauh dari target capaian.
Pelajaran ini, tak lebih dari sekadar formalisasi nilai kognitif di raport saja. Sementara adab, akhlak terpuji, semangat beribadah dan menjauhi maksiat, menebar kebaikan sampai pada tataran kehidupan di luar sekolah masih sebatas isapan jempol belaka.
Masalahnya bukan pada ada atau tidaknya pelajaran agama dalam kurikulum sekolah. Toh, dalam sistem pendidikan Islam di masa silam, pelajaran agama tidak dikategorisasikan atau berdiri sendiri sebagai sebuah mata pelajaran.
Nilai transendental Islam justru dijadikan standar penilaian proses pendidikan yang terinternalisasi dalam berbagai ilmu pengetahuan. Sehingga output riil pendidikan, tak lain adalah menghasilkan generasi takwa yang memberikan faedah besar bagi agama dan negaranya.
Hanya saja, saat ini rasanya berat jika pelajaran agama untuk mewujudkan generasi muslim berkepribadian Islam yang unggul. Hal ini disebabkan oleh paradigma pendidikan yang mendorong materi agama cukup sebagai teori, bukan praktik.
Agama ditempatkan hanya untuk urusan individual. Sementara kehidupan umum, dibiarkan berjalan bebas tanpa aturan jelas dari sang pencipta. Walhasil, tidak terbentuk kepribadian Islam yang utuh pada diri peserta didik meskipun mereka mendapat pelajaran agama di sekolah.
Oleh karenanya, perlu ada dorongan dan upaya serius dari institusi pendidikan, keluarga dan masyarakat kepada negara agar dapat merealisasikan nilai transendental Islam ke dalam kehidupan umum melalui solusi yang paradigmatik dan integral. Dengan demikian, pelajaran agama tidak lagi hanya menjadi formalitas di sekolah saja.
Pengirim : Anisa Mumtazah, Komunitas Literasi Muslimah, Kota Bogor