Kerasnya hidup di Jakarta bagi kaum urban. Biaya hidup yang mahal, disertai penghasilan yang minim, membuat mereka harus memutar otak demi menyambung hidup. Alternatif pilihan pun tidak banyak, sebab semuanya berbayar. Termasuk di antaranya kamar kos berukuran 2x1 meter.
Dilansir dari Jawa Pos, di Johar Baru Jakarta Pusat, banyak dijumpai hal seperti ini. Kamar berbentuk kotak menjadi incaran. Dengan membayar Rp300 ribu perbulan, mendapat kamar 3x1 meter. Sedangkan Rp400 ribu perbulan, lebih besar, yaitu ukuran 3x1,5 meter. Sangat sempit, bahkan untuk duduk pun sulit, kepala akan menyentuh langit-langit.
Sekalipun desain kamar kotak tidak lazim, tapi ia menjadi favorit. Bahkan ada penghuni yang sudah tinggal bertahun-tahun. Pembayaran bisa dicicil perhari, Rp50 ribu. Itupun sudah tak perlu lagi membayar listrik, bebas masuk 24 jam. Tak peduli kondisi kamar yang tidak ideal, yang penting mereka bisa istirahat memejamkan mata seusai bekerja.
Inilah yang terjadi jika umat tidak dalam pengurusan Islam. Tidak ada penjagaan kesejahteraan. Hak-hak umat tidak diakomodir. Memenuhi kebutuhan akan pangan, sandang dan papan harus ditempuh dengan melakukan berbagai cara. Bahkan dengan menggadaikan kehormatan mereka sebagai manusia.
Kamar kos kotak sungguh tidak layak huni. Bukan kamar seperti itu yang tepat bagi kehidupan manusia. Setiap orang yang ingin hidup layak, tentu ingin terpenuhi kebutuhan dasarnya, serta bisa beribadah dengan nyaman. Menegakkan tubuhnya di hadapan manusia dan memiliki hujah di hadapan Allah, dengan sebenar-benar penghormatan. Tidurpun bagi seorang muslim bernilai ibadah.
Ini adalah ranah penguasa mengelola kehidupan masyarakat, hingga ke ranah pribadi. Memperhatikan kebutuhan dan memenuhinya dengan sebaik-baik pengurusan. Sebab perkara kecil yang luput dari pengelolaan penguasa, tetap akan diminta pertanggungjawabannya di sisi Allah.
Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Pusat dianggap kecolongan. Sebab kos-kosan model seperti ini menjamur. Mereka dengan dalih pemasukan daerah, kamar kos seperti ini luput dari pungutan pajak. Mereka tidak melihat dari sudut pandang kemanusiaan. Apakah layak seorang manusia tidur di tempat seperti itu.
Masa Abasiyah dengan kejayaannya, pernah membuktikan adanya kota sekelas dunia. Tidak perlu pergi jauh, seluruh kebutuhan masyarakat ada saling berdekatan. Bahkan tidak perlu transportasi. Setiap kota telah dilengkapi rumah sakit, pabrik, jalan yang tertata, sekolah dan tempat hiburan. Bagi musafir pun disediakan rumah singgah gratis selama 3 hari dengan pelayanan terbaik menjamu tamu.
Karena itu, menjadi perkara penting saat ini mengurus umat dengan landasan keimanan yang tinggi. Tidak dengan kalkulasi untung rugi sehingga melibas sisi kemanusiaan. Dalam Islam, akan terpancar rahmat bagi semesta alam, tak terkecuali manusia. Wallahu 'alam.
Pengirim: Lulu Nugroho, Muslimah Penulis dari Cirebon.