Kualitas udara di sejumlah daerah terdampak karhutla di Sumatra dan Kalimantan masih berstatus berbahaya. Bahkan Provinsi Riau memberlakukan status darurat pencemaran udara mulai 23 September hingga 30 September 2019. Penderita penyakit ISPA juga menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Berbagai upaya pemadaman yang dilakukan petugas pemadam dan masyarakat sampai saat ini belum mengurangi ketebalan kabut asap. Miris memikirkan kondisi masyarakat terdampak asap karhutla. Ketika oksigen yang dibutuhkan untuk bernapas sudah sulit didapati, kematian pun pelan-pelan mendekati. Maka bencana kemanusiaan telah menanti.
Karhutla terjadi setiap tahun. Seharusnya sudah dapat diantisipasi atau meminimalisasi dampak dari kabut asap. Sudah banyak bukti bahwa tindakan manusialah penyebab utama karhutla, baik perorangan atau korporasi. Tapi tindakan aparat pemerintah yang tidak tegas terhadap pelaku, membuat pembabat dan pembakar hutan tetap beraksi.
Mencegah dan mengatasi karhutla memang butuh sinergi berbagai pihak, mulai individu dan masyarakat peduli lingkungan, menjaga keseimbangan alam dan kritis terhadap kebijakan yang merugikan masyarakat dan ekosistem. Serta peran negara memberi sanksi tegas bagi tangan-tangan tak bertanggungjawab.
Pengirim: Ummu Athiyah, Makassar