Jerat kekerasan seksual terus menghampiri negeri. Jawa Timur, wilayah yang masuk dalam daftar provinsi dengan angka kasus kekerasan seksual tertinggi kedua se-Indonesia. Jumlahnya mencapai 406.178 kasus di tahun 2018.
Mulai dari kasus di Sumenep yaitu kasus ‘begal’ payudara yang dilakukan oleh laki-laki kepada wanita di jalan raya. Kemudian di Jombang, merebak kasus predator anak.
Diketahui, pria 24 tahun telah memperkosa anak di bawah umur. Berlanjut ke wilayah Blitar dengan kasus guru ngaji yang mencabuli empat santri TPQ-nya. Tak kuat hati untuk menyebutkan rentetan kasus kekerasan seksual yang terjadi. Hingga guru ngaji yang seharusnya mengajarkan kebaikan dan akhlak yang mulia-pun melakukan tindakan yang merusak moral generasi.
Belum lagi, di Surabaya kasus prostitusi online kembali menyeret nama publik figur, Finalis Putri Pariwisata. Notabene semua kasus seksual ini menjangkiti generasi muda bangsa yang di 2020 disinyalir akan menjadi bonus demografi. Apakah bisa dikatakan bonus kuantitas namun minim kualitas?.
Tak ayal jika pemerintah memutar otak untuk menekan laju kasus yang berhubungan dengan seksualitas ini (kekerasan hingga prostitusi). Pemerintah menggodok berbagai aturan, salah satunya adalah RUU-PKS yang di masyarakat masih menuai pro dan kontra. Akhir-akhir ini karena banyak kasus yang melibatkan anak, pemerintah Kabupaten Mojokerto juga menginisiasi dibangunnya rumah aman bagi anak.
Nantinya rumah aman ini bisa dipakai sebagai tempat pemulihan trauma korban, tempat rehabilitasi bagi pelaku atau bahkan menjadi tempat pendidikan bagi anak yang menjadi pelaku maupun korban. Ini adalah segelintir solusi yang ditawarkan oleh pemerintah sebagai respon maraknya kasus tersebut.
Lalu, apakah semua yang dilakukan pemerintah telah berhasil menekan angka kekerasan seksual maupun mengembalikan kondisi negeri menjadi aman? Dapat kita dilihat bersama, angka kekerasan seksual atau prostitusi bukan malah turun, bahkan menjadi makin tinggi. Indonesia dikatakan sedang mengalami darurat kekerasan seksual yang merusak moralitas generasi bangsa ini.
Seyogyanya, perlu kita cermati trigger atau faktor pemicu hal ini. Faktor pemicu dapat berasal dari internal diri yang mendapat penguatan dari eksternal. Seseorang yang melakukan pelecehan seksual atau prostitusi, jika kembali pada norma agama dan nilai bangsa pastilah dinilai sebagai orang yang memiliki akhlak buruk atau tidak memiliki iman yang kuat. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa memang gairah seksualnya sedang berada di puncak. Namun, gairah seksual ini tidak serta-merta terwujud dalam perilaku.
Hal ini mewujud karena faktor eksternal berpengaruh dominan. Berakar pada pendapat Bandura, dalam teorinya Social Learning, maka manusia itu bergerak atas landasan pemikiran yang dipelajarinya melalui interaksi dengan lingkungan sosial (eksternal).
Maka sesungguhnya, lingkungan sosial memiliki peran besar dalam memengaruhi tindakan pelaku. Mulai dari paparan konten pornografi, pengaruh teman yang memiliki gaya hidup bebas, kurangnya pendidikan moral dari orang tua, hingga peran negara dalam menegakkan hukum yang kurang tegas dan cenderung tidak menjerakan. Untuk prostitusi, faktor ekonomi dan gaya hidup bebas menjadi faktor utamanya. Dengan kata lain, buruknya sistem sosial (hukum, sosial-budaya, ekonomi, pendidikan, dan agama) secara terkait membentuk pola moralitas yang buruk bagi generasi.
Keseluruhan sistem sosial hari ini adalah cerminan penerapan sistem kehidupan yang dianut bangsa. Kehidupan yang melandaskan kepada pemikiran manusia yang tidak mampu berpikir kompleks, terbatas dalam membaca suatu fenomena. Akhirnya diketahui menimbulkan keterbatasan bahkan kerusakan.
Harusnya, sistem kehidupan semacam ini perlulah untuk digantikan oleh sistem yang sempurna, berasal dari Pencipta manusia. Otomatis sistem sosial yang lahir dari-Nya adalah yang terbaik bagi kehidupan manusia karena Pencipta mengetahui seluk beluk ciptaan-Nya.
Sistem yang mampu menjawab segala problematika umat manusia. Sistem ini juga akan bekerja menjaga individu serta masyarakat di dalamnya jika negara bersedia menerapkannya. Sistem ini secara historis bahkan mampu menjaga keamanan, kepemilikan, keimanan, hingga moralitas generasi yang plural dalam bingkai wilayah kesatuan.
Pengirim: Nurintan Sri Utami, S.Psi, Anggota Komunitas Muslimah College Community Malang