REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kenaikan harga pangan pokok akhir-akhir ini terjadi secara serentak hingga menyulitkan masyarakat, pedagang, maupun petani. Sementara harga terus melonjak tinggi hingga mengerek lonjakan inflasi, sejumlah upaya pemerintah dalam menekan kenaikan harga belum berdampak banyak.
Koordinator Nasional, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, menuturkan, naiknya harga komoditas pangan akhir-akhir disebabkan oleh dua faktor utama, pergerakan harga global dan gangguan produksi dalam negeri.
Said menuturkan, naiknya harga-harga pangan global akibat kenaikan harga energi imbas perang Rusia-Ukraina berimplikasi terhadap situasi dalam negeri. Terutama, komoditas yang memang dipenuhi dari impor seperti gandum dan kedelai.
"Di satu sisi, produk pangan kita yang diekspor juga naik harganya, seperti minyak sawit, bahkan cenderung lari keluar karena harga lebih bagus," kata Said kepada Republika.co.id, Kamis (14/7/2022).
Sementara situasi global masih fluktuatif, produksi pangan dalam negeri dalam situasi kurang optimal. Said menuturkan, musim kemarau basah yang terjadi sejak awal tahun akibat perubahan iklim sedikit banyak berpengaruh pada tingkat produktivitas.
Terutama, komoditas hortikultura seperti cabai, bawang, dan sayuran yang tidak tahan terhadap kondisi basah berkepanjangan. "Ditambah, produksi pangan kita yang belum merata, sentra-sentra produksi masih terkonsentradi di wilayah tertentu dan kita belum panen sepanjang waktu," kata Said.
Ia menjelaskan, produksi pangan di Indonesia belum merata karena belum adanya pengembangan yang mengarah kepada panen komoditas sepanjang waktu.
Sejumlah kendala itu, lanjut Said, diperparah dengan tata niaga distribusi pangan di Indonesia yang belum pulih pasca pandemi Covid-19. Pemerintah dinilai belum dapat memperbaiki tata kelola distribusi pangan secara utuh.
Lebih lanjut, Said menuturkan, kegiatan produksi pangan pada dasarnya memang memiliki musim tertentu. Namun, situasi itu bisa diatasi jika tata niaga distribusi pangan, termasuk sistem pergudangan di Indonesia sudah berjalan optimal.
"Di negara lain memang panen rayanya juga musiman, tapi produksi mereka banyak dan distribusinya bagus sehingga merata sepanjang waktu. Itu yang belum terjadi di kita," ujar Said.
Lima lembaga di bawah PBB telah mengeluarkan Laporan The State of Food Security and Nutrition in the World 2022. Laporan tersebut mencatat angka kelaparan penduduk dunia mencapai 828 juta orang di tahun 2021.
Angka tersebut meningkat 46 juta orang dari tahun 2020 dan meningkat 150 juta orang jika dibandingkan sebelum terjadinya pandemi Covid-19. Dengan data terakhir ini, PBB memprediksi jumlah angka kelaparan pada tahun 2030 mendatang lebih dari 670 juta orang dan angka ini jauh di atas target program zero hunger.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menyampaikan, jumlah tersebut akan berpotensi meningkat pada tahun ini seiring dengan dampak perubahan iklim ekstrem, pandemi Covid-19 yang belum usai dan perang antara Rusia dan Ukraina.
Laporan tersebut juga menyebutkan perkiraan kenaikan tersebut mencapai 13 juta pada tahun 2022 dan 19 juta pada tahun 2023 – terkhusus karena penurunan ekspor pangan ke negara-negara yang kekurangan pangan.
Kondisi inilah yang kemudian memicu tingginya indeks harga pangan tingkat global dan tingginya inflasi di beberapa negara, diantaranya di Asia, yakni Jepang, Korea, Malaysia, Bangladesh, Pakistan dan Srilanka.
Henry meneruskan, namun bila dianalisis data tahun-tahun sebelumnya, terkhusus ketika terjadi krisis pangan pada tahun 2008 perkembangan angka kelaparan landai dan kemudian meningkat tajam pada tahun 2021. Lebih dari itu kenaikan tajam pada tahun 2019 dan 2020 atau sebelum pandemi Covid-19 di akhir tahun 2020.
"Pada tahun 2020, terdapat hampir 3,7 triliun orang tidak dapat menjangkau pangan sehat karena tingginya harga pangan dan pada tahun 2021 terdapat 2,3 triliun tidak dapat cukup pangan," sebutnya.
Henry melanjutkan, situasi pangan global yang tengah berkecamuk juga memberi dampak signifikan bagi Indonesia. Contohnya, seperti turunnya permintaan internasional atas crude palm oil (CPO) sawit mengakibatkan penurunan signifikan harga Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat petani.
Sebelumnya, pemerintah Indonesia sempat mengambil kebijakan larangan ekspor CPO dan produk olahan sawit lainnya, akibat melonjaknya harga minyak goreng sawit di dalam negeri," tegasnya.
"Petani sawit mandiri menjadi pihak yang paling dirugikan akibat situasi tersebut. Saat ini, harga TBS berada di kisaran Rp1.200 per kg, atau mengalami penurunan hingga 60 persen, dari harga sebelumnya yang sempat menyentuh kisaran Rp3.600," ujarnya.
Henry menambahkan, ironisnya, kendati harga TBS mengalami penurunan, tetapi tidak untuk harga minyak goreng sawit, baik itu minyak goreng kemasan maupun minyak goreng curah yang mayoritas berada di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
Henry mengingatkan, situasi menjadi semakin pelik mengingat Indonesia mencatatkan kenaikan inflasi sebesar 0,61 persen secara bulanan (Juni 2022) dan 4,35 persen secara tahunan. Faktor yang menjadi penyumbang kenaikan inflasi ini adalah kenaikan harga bahan pangan, yakni cabai merah, cabai rawit, bawang merah, hingga telur.
"Kenaikan harga bahan pangan tersebut juga diimbangi dengan kenaikan biaya produksi atau modal yang dikeluarkan oleh petani, yakni untuk pupuk hingga bibit tanaman," keluhnya.