Selasa 19 Jul 2022 00:45 WIB

Pakar Beberkan Pelajaran Penting dari Krisis Sri Lanka

Ketergantungan terhadap impor perlu dikurangi agar tak bernasib seperti Sri Lanka.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Friska Yolandha
Orang-orang mengantre dengan tabung kosong untuk membeli gas domestik di pusat distribusi, di Kolombo, Sri Lanka, Selasa, 12 Juli 2022. Kekosongan politik berlanjut di Sri Lanka dengan para pemimpin oposisi belum menyepakati siapa yang harus menggantikannya ditolak mentah-mentah pemimpin, yang kediamannya ditempati oleh pengunjuk rasa yang marah atas kesengsaraan ekonomi yang mendalam di negara itu.
Foto: AP/Rafiq Maqbool
Orang-orang mengantre dengan tabung kosong untuk membeli gas domestik di pusat distribusi, di Kolombo, Sri Lanka, Selasa, 12 Juli 2022. Kekosongan politik berlanjut di Sri Lanka dengan para pemimpin oposisi belum menyepakati siapa yang harus menggantikannya ditolak mentah-mentah pemimpin, yang kediamannya ditempati oleh pengunjuk rasa yang marah atas kesengsaraan ekonomi yang mendalam di negara itu.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pakar ekonomi Universitas Airlangga (Unair) Miguel Angel Esquivias Padilla mengatakan, krisis ekonomi yang terjadi di Sri Lanka disebabkan kombinasi faktor ekonomi, politik, dan sosial. Kemudian diperparah dengan tekanan kondisi Covid-19 serta tekanan perang Rusia dan Ukraina.

“Namun demikian, dari dulu memang perekonomian Sri Lanka sudah memiliki beberapa kelemahan yaitu Sri Lanka punya utang yang cukup besar,” kata Miguel, Senin (18/7/2022).

Baca Juga

Pada 2005, kata Miguel, Sri Lanka sudah mengalami defisit yang bertambah dari tahun ke tahun. Aspek pertumbuhan ekonomi Sri Lanka dari 2005 hingga 2021, mengalami enam kali pertumbuhan ekonomi negatif. Sri Lanka juga mengalami sebuah transformasi dalam perekonomian, dimana manufaktur perindustrian menurun.

Ia menambahkan, krisis yang dialami Sri Lanka juga dipengaruhi kondisi Covid-19. Pandemi berdampak pada penerimaan valuta asing karena Sri Lanka tergantung pada uang yang dikirim dari luar negeri. “Hampir sepuluh persen dari perekonomian Sri Lanka tergantung pada penerimaan uang dari luar negeri atau penerimaan dari aspek jasa pariwisata,” kata Miguel.

Miguel melanjutkan, hal yang bisa dijadikan pelajaran Indonesia dari kasus krisis ekonomi di Sri Lanka adalah tentang ketergantungan negara terhadap impor dan barang dari luar negeri. Dimana Sri Lanka sangat bergantung pada negara lain. Misalnya dalam pemenuhan kebutuhan pupuk dan input lain yang penting.

“Ketika terjadi krisis seperti ini, Sri Lanka dalam negeri tidak memiliki kapabilitas atau kapasitas untuk bisa mengganti produk tersebut dengan produk lokal,” ujarnya.

Miguel menyarankan, suatu negara perlu menjaga defisit perekonomian yang mereka miliki. Jangan sampai terlalu lama membiarkan defisit bertambah terus menerus. Sri Lanka, kata Miguel, banyak memiliki proyek investasi infrastruktur dan sebagainya, tapi sebagian besar bersifat utang.

Selain itu, kata dia, Sri Lanka mengalami pertumbuhan ekonomi yang tidak stabil sehingga sangat meragukan apakah Sri Lanka bisa membayar utangnya atau tidak. “Ternyata Sri Lanka tidak dapat melunasi utangnya karena struktur perekonomian yang sangat lemah untuk menghadapi utang sebesar itu,” ujarnya.

Dikatakan Miguel bahwa perekonomian di indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi selama 22 tahun secara berturut-turut. Nilai tambah dari perekonomian Indonesia juga jauh lebih solid dari pada Sri Lanka. Industri juga lebih berkembang dari aspek stabilitas masyarakat, aspek makro ekonomi, dan aspek politik

"Utang Indonesia saat ini juga masih dalam kondisi sangat aman. Indonesia memang membutuhkan dana tersebut untuk bisa membiayai proyek pertumbuhan dan proyek untuk masyarakat," kata Miguel.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement