Selasa 19 Jul 2022 08:35 WIB

Uni Eropa dan Kanada Ikuti Jejak AS Larang Impor Produk Xinjiang

menggalang sekutu melawan kerja paksa saat mulai menerapkan UFLPA.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Dwi Murdaningsih
Para pekerja mengontrol pergerakan mesin penebar bibit kapas di areal perkebunan kapas di Prefektur Changji, Daerah Otonomi Xinjiang, China, Rabu (21/4/2021). Xinjiang diguncang isu kerja paksa terhadap etnis minoritas Muslim Uighur di perkebunan kapas, namun dibantah karena semua proses dikerjakan dengan mesin.
Foto: ANTARA/M. Irfan Ilmie
Para pekerja mengontrol pergerakan mesin penebar bibit kapas di areal perkebunan kapas di Prefektur Changji, Daerah Otonomi Xinjiang, China, Rabu (21/4/2021). Xinjiang diguncang isu kerja paksa terhadap etnis minoritas Muslim Uighur di perkebunan kapas, namun dibantah karena semua proses dikerjakan dengan mesin.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Seorang pejabat senior pemerintah Amerika Serikat (AS) mengatakan, negara-negara sekutu  berkomitmen untuk mengikuti jejak Amerika yang melarang impor barang yang dibuat dengan sistem kerja paksa dari wilayah Xinjiang, China. Pejabat itu memperingatkan perusahaan bahwa, mereka tidak dapat mempertahankan "ketidaktahuan yang disengaja" tentang rantai pasokan mereka.

Undang-undang Pencegahan Kerja Paksa Uyghur Amerika Serikat (UFLPA) mulai berlaku bulan lalu. Undang-undang tersebut memotong impor produk dari Xinjiang.

 

Wakil Sekretaris untuk Urusan Internasional di Departemen Tenaga Kerja AS, Thea Lee, mengatakan, dia bersama dengan mitranya termasuk di Uni Eropa dan Kanada, telah membicarakan tentang penerapan pembatasan impor barang dari Xinjiang. 

 

"(Aturan) ini bergerak di Kanada. Ini bergerak di Uni Eropa. Ini benar-benar bergerak di seluruh dunia, itulah sebabnya pesan saya kepada perusahaan adalah, 'Anda harus mulai menganggap ini serius'," kata  Lee.

 

"Perusahaan saat ini memiliki apa yang saya sebut sebagai ketidaktahuan yang disengaja. Mereka tidak perlu tahu, jadi mereka tidak tahu," kata Lee tentang pemahaman mereka terkait rantai pasokan.

 

Namun Lee mengatakan, fokus Uni Eropa pada pengembangan standar uji tuntas wajib adalah titik awal yang baik. Lee menambahkan, Kanada dan Meksiko sedang bergerak menetapkan standar umum Amerika Utara yang melarang barang kerja paksa sebagai bagian dari komitmen mereka di bawah perjanjian perdagangan trilateral.

 

Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken mengatakan, Washington menggalang sekutu melawan kerja paksa saat mulai menerapkan UFLPA.  Di bawah undang-undang tersebut, badan Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan (CBP) AS memberlakukan "rebuttable presumption" bahwa semua barang dari Xinjiang dibuat dengan kerja paksa dan dilarang diimpor, kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya. Rebuttable presumption adalah praduga fakta yang diterima oleh pengadilan, sampai membuktikan sebaliknya.

 

Beberapa anggota parlemen AS telah meminta pejabat CBP untuk menjelaskan mengapa tiga perusahaan energi surya besar China dikeluarkan dari daftar importir. Perusahaan itu diduga memiliki keterkaitan dengan kerja paksa dalam rantai pasokan mereka. 

 

Memperluas cakupan produk yang dilarang dapat mengancam pasokan panel surya AS. Termasuk menghalangi tujuan Presiden Joe Biden untuk mendekarbonisasi sektor listrik AS pada 2035. Namun Lee menolak mengomentari larangan impor terhadap perusahaan energi surya.

 

 "Misi kami adalah memberikan informasi sebanyak mungkin untuk memastikan tidak ada kerja paksa dalam rantai pasokan kami. Dan kami memahami bahwa akan selalu ada tujuan yang bersaing dalam suatu pemerintahan, di dalam pemerintahan," ujar Lee.

 

Lee mengatakan, daftar terbaru Departemen Tenaga Kerja tentang barang yang diproduksi dengan pekerja paksa atau pekerja anak akan dirilis pada 28 September. Departemen juga akan melakukan peninjauan baru untuk membantu memenuhi mandat kongres menilai lebih dalam ke rantai pasokan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement