Ahad 24 Jul 2022 23:15 WIB

Indonesia-Malaysia Cari Solusi Soal Penempatan PMI

Indonesia dan Malaysia terus mencari solusi penempatan Pekerja Migran Indonesia

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Esthi Maharani
Penanganan pemulangan 239 Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang di deportasi dari Sabah, Malaysia.
Foto: Dok. Web
Penanganan pemulangan 239 Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang di deportasi dari Sabah, Malaysia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Fadjar Dwi Wisnuwardhani memastikan, pemerintah Indonesia dan Malaysia terus melakukan komunikasi untuk membahas dan mencari solusi atas persoalan penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Malaysia.

Hal ini menyusul keputusan pemerintah Indonesia terkait penghentian sementara penempatan PMI ke Malaysia sejak 13 Juli 2022 lalu. Keputusan itu buntut dari pelanggaran MoU tenaga kerja yang dilakukan oleh negeri Jiran.

"Pada prinsipnya MoU antar dua negara harus dihormati dan dilaksanakan. Pelanggaran ini mencederai itikad baik pemimpin kedua negara, yakni Presiden RI dan Perdana Menteri Malaysia," ujar Fadjar, dikutip dari siaran pers KSP, Ahad (24/7/2022).

Sebagai informasi, MoU antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia tentang Penempatan dan Perlindungan PMI Sektor Domestik di Malaysia ditandatangani oleh Menteri Ketenagakerjaan RI dan Menteri Sumber Manusia Malaysia pada 1 April 2022. Penandatanganan disaksikan oleh Presiden RI Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Dato’ Sri Ismail Sabri Yaakob.

MoU tersebut merupakan pembaruan kesepakatan dan mekanisme penempatan PMI sektor domestik yang bekerja  di Malaysia yang sudah ada. MoU ini memuat bahwa penempatan PMI hanya dilakukan melalui Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) atau One Channel System.

Fadjar mengungkapkan, pasca penandatanganan MoU, Malaysia ternyata masih menggunakan sistem di luar SPSK, yaitu Sistem Maid Online (SMO). Sistem itu menempatkan pekerja migran secara langsung dengan mengubah visa kunjungan menjadi visa kerja, termasuk bagi pekerja asal Indonesia.

SMO yang berjalan ini, lanjut Fadjar, dikelola oleh Kementerian Dalam Negeri (KDN) Malaysia sendiri melalui Jabatan Imigresen Malaysia.

"Sistem ini dinilai pihak Indonesia membuat perlindungan pekerja migran semakin rentan dan Pemerintah RI tidak memiliki data PMI," jelasnya.

Menurut Fadjar, kondisi tersebut membuat Pemerintah Indonesia sulit memberikan perlindungan kepada PMI saat menghadapi berbagai persoalan. Seperti penahanan paspor oleh majikan, pemotongan gaji, dan tidak adanya kontrak kerja.

"Karena aspek penegakan hukum yang lemah bagi pekerja asing yang tidak resmi di Malaysia," ujarnya.

Fadjar mengakui, Malaysia termasuk negara yang terpenting dalam penempatan PMI. Tercatat ada 1,6 juta PMI prosedural di Malaysia yang bekerja di sektor perkebunan, pabrik, dan domestik yakni sebagai pekerja rumah tangga (PRT).

Merujuk data Bank Indonesia (BI), Fadjar menyebut, jumlah kiriman uang PMI dari Malaysia sebelum pandemi berkisar 3 miliar dolar AS atau setara Rp 40 triliun per tahun.

"Dengan jumlah tersebut, keberadaan PMI dalam stabilitas dan pembangunan ekonomi negara menjadi sangat signifikan," kata dia.

Karena itu, Kantor Staf Presiden mendorong agar proses penyelesaian masalah penempatan PMI di Malaysia dapat dilakukan secepatnya, sebab akan menguatkan aspek perlindungan dan meningkatkan peluang kebekerjaan bagi banyak calon PMI.

Ia pun meyakini, pihak Malaysia punya itikad untuk menghormati MoU. Hal itu ditunjukkan dengan sikap Perdana Menteri Malaysia, yang telah memerintahkan  Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Sumber Manusia untuk menyelesaikan persoalan penempatan PMI di Malaysia.

Pada kesempatan itu, Fadjar juga meminta Kemnaker dan Kemlu mengkomunikasikan keputusan penghentian sementara kepada berbagai pihak di dalam negeri, terutama calon PMI yang akan berangkat ke Malaysia.

"Agar CPMI tidak salah persepsi atas keputusan pemerintah. Bahwa apa yang dilakukan pemerintah ini semata-mata demi melindungi PMI," jelasnya.

Seperti diketahui, pemerintah RI melalui rekomendasi dan pernyataan KBRI Malaysia memutuskan untuk menghentikan kerjasama pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke Malaysia, sejak 13 Juli 2022. Hal ini dikarenakan pelanggaran MoU tenaga kerja oleh Malaysia yang masih menggunakan Sistem Maid Online (SMO).

Padahal di dalam MoU disebutkan, para pihak (Pemerintah RI dan Malaysia) sepakat bahwa perekrutan, pemberangkatan, dan penempatan Pekerja Migran Indonesia Domestik (PMID) di Malaysia wajib dilakukan dalam kerangka Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK).

Dalam butir lain juga dijelaskan, tidak ada mekanisme penempatan pekerja migran Indonesia domestik lainnya kecuali SPSK, misalnya Sistem Maid Online (SMO), Journey Performed Visa (JP Visa), atau MyTravel Pass.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement