REPUBLIKA.CO.ID, MASKWACIS -- Lagu kebangsaan Kanada yang dinyanyikan dalam bahasa Cree dengan sedih oleh seorang perempuan pribumi. Air mata mengalir di wajahnya menandai momen emosional di perjalanan pertama tur permintaan maaf Paus Fransiskus di Kanada.
Momen tanpa naskah itu menutup upacara yang penuh dengan simbolisme bagi ribuan penyintas sekolah asrama Katolik yang melecehkan anak-anak pribumi. Mereka duduk dalam keheningan yang muram ketika Paus mengatakan betapa sangat menyesal atas peran gereja Katolik dalam sistem sekolah asrama yang kejam di Kanada.
Itu adalah permintaan maaf yang telah lama ditunggu-tunggu di tanah First Nations. "Dengan rasa malu dan tanpa ragu, saya dengan rendah hati memohon pengampunan atas kejahatan yang dilakukan oleh begitu banyak orang Katolik terhadap masyarakat adat," kata Paus yang datang dan pergi dengan kursi roda karena lututnya sakit.
Paus berbicara kepada sekitar 2.000 orang yang berkumpul di Auditorium dekat lokasi dua bekas sekolah di Maskwacis, Alberta. Sementara lebih banyak lagi yang menonton di layar lebar dari kejauhan.
"Itu sangat emosional. Saya tidak tahu. Apakah kami merayakannya? Sangat kuat mendengar pemimpin Gereja Katolik meminta kami ... untuk memaafkannya," ujar penyintas sekolah asrama yang berada di tempat tersebut Maureen Belanger kepada CBC TV.
"Pada saat yang sama, Anda tidak bisa melupakan semua roh yang tidak beristirahat," katanya.
Banyak yang selamat dari sistem sekolah asrama yang bertahan selama lebih dari satu abad. Sekolah ini secara paksa memisahkan lebih dari 150.000 anak-anak pribumi dari keluarga mereka dan menyebabkan banyak orang kelaparan, pemukulan, dan pelecehan seksual. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Kanada menyatakan tindakan disebut sebagai genosida budaya.
Peserta membawa spanduk merah sepanjang 50 meter melalui auditorium sebelum pidato. Spanduk ini memperlihatkan nama ribuan anak-anak adat yang hilang.
Beberapa mengenakan regalia asli sementara yang lain mengenakan kemeja oranye untuk menandai warisan sistem sekolah asrama dan anak-anak yang tidak pernah pulang dari institusi. Beberapa orang memperhatikan dengan seksama ketika Paus berbicara, sementara yang lain bersandar satu sama lain. Beberapa menangis.