REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG—Humas Pengadilan Agama Bandung Subai mengatakan, 80 persen perkara perceraian di Kota Bandung diajukan penggugat perempuan. Fenomena ini, kata dia, bahkan telah terlihat sejak lima tahun lalu, dimana cerai gugat lebih mendominasi dibanding cerai talak.
“80 persen penggugat adalah perempuan, karena disini ada cerai gugat dan cerai talak, kalau cerai gugat itu perempuan dan cerai talak itu laki-laki, disini 80 persen itu cerai gugat baru sisanya cerai talak. Dan kebanyakan disebabkan percekcokan atau pertengkaran yang berlanjut, juga karena perekonomian,” kata Subai saat ditemui di Pengadilan Agama Bandung, Selasa (26/7/2022).
Berdasarkan data statistik perkara pengadilan yang dikutip di portal Pengadilan Agama Bandung, hingga Rabu (29 Juni 2022), tahun ini jumlah perkara cerai gugat sebanyak 2.551 perkara, sedangkan cerai talak hanya sebanyak 672. Tahun ini, faktor penyebab terjadinya perceraian didominasi oleh perselisihan dan pertengkaran terus-menerus, dengan jumlah 1.533 perkara, disusul alasan ekonomi dengan 654 perkara.
Jika merujuk pada kisaran usia penggugat, tahun ini masih didominasi oleh penggugat di rentang usia 31-40 tahun, sebanyak 1.405 penggugat. Disusul oleh usia 41-50 tahun sebanyak 1.268 penggugat, dan rentang usia 21-30 tahun dengan 1.134 penggugat.
“Kebanyakan kasus perceraian ini adalah mereka yang usia pernikahan lebih dari 10 tahun, tahun ini ada 2269 perkara,” kata Subai, menambahkan untuk perceraian dengan latar belakang usia pernikahan di bawah 10 tahun masih jauh lebih sedikit.
Dia mengatakan, meski pengadilan telah mengadakan upaya mediasi, namun hanya tiga persen perkara saja yang dapat didamaikan. Menurutnya, persoalan yang telah menahun membuat banyak pasangan telah membulatkan keputusan berpisah.
“Ada, menurut UUD ketika penggugat dan tergugat datang maka pengadilan wajib mengadakan mediasi, kita damaikan, tapi kalau memang sudah tidak ada titik temu maka mediasi tidak berhasil. Itu bisa satu sampai tiga kali, tergantung. Tapi yang jelas kita kasih waktu satu bulan untuk berdamai,” kata dia.
“Dari tiga bulan terakhir, kurang lebih tiga persen yang berhasil didamaikan melalui mediasi, dari seluruh total perkara yang ada. Memang nilainya kecil ya, karena ini urusan hati ya,” sambungnya.
Meski begitu, dia mengatakan, adanya penurunan pengajuan perceraian jika dibandingkan tahun 2021. Berdasarkan data perkara yang diterima dan diputus, di 2022, terdata sebanyak 785 perkara yang diterima pengadilan agama Bandung, atau 28 perkara lebih sedikit dibanding tahun 2021.
“Kalau misalkan ada penurunan mungkin karena kita sudah masuk lagi ke aktivitas yang bagus, sudah tidak ada PPKM lagi, kemungkinan perekonomian mulai berjalan lagi hingga untuk masalah nafkah ekonomi sudah terpenuhi, mungkin ada yang suaminya sudah kerja lagi jadi nggak jadi cerai,” ujarnya.