REPUBLIKA.CO.ID, ABU DHABI -- Seorang akademisi populer yang berbasis di Dubai, Abdulkhaleq Abdulla mengatakan orang-orang Uni Emirat Arab (UEA) berpaling dari Israel dan normalisasi hubungan dengan otoritas pendudukan. Meskipun kedua negara sepakat untuk normalisasi hubungan sejak 2020.
Dilansir dari The New Arab, Rabu (27/7/2022), kedua negara sepakat menormalkan hubungan pada 2020 melalui Kesepakatan Abraham yang ditengahi oleh AS selama pemerintahan Trump. Sejak itu mereka telah menandatangani kesepakatan kerja sama di bidang-bidang termasuk pariwisata, dengan penerbangan non-setop sekarang beroperasi dari Israel ke Abu Dhabi dan Dubai.
Tetapi akademisi Abdulkhaleq Abdulla mengatakan dia tidak tahu ada orang Emirat yang memanfaatkan hubungan ini untuk mengunjungi Israel sebagai turis. "Sepengetahuan saya, tidak ada orang Emirat yang ke Israel musim panas ini, dan siapa pun yang melakukannya secara diam-diam, malu dan menyamar," kata Abdulla di Twitter.
"Lelucon yang menyambut Israel telah berakhir," tambahnya.
Abdulla mengutip angka jajak pendapat Maret 2022 dari Institut Washington yang menemukan sikap publik negara Teluk terhadap normalisasi telah mengeras sejak Bahrain, Maroko dan UEA setuju menormalkan hubungan dengan Israel hampir dua tahun lalu.
Di UEA, hanya seperempat responden TWI yang mengatakan mereka merasa positif tentang Kesepakatan Abraham. "Ketika pertama kali disurvei pada November 2020, sikap di UEA dan Bahrain secara efektif terpecah, apakah mereka melihat kesepakatan itu secara positif atau negatif," kata lembaga survei awal bulan ini.
Namun juga beberapa warga Emirat membalas tweet Abdulla dengan tidak setuju, mengatakan bahwa mereka atau seseorang yang mereka kenal telah mengunjungi Israel sebagai turis baru-baru ini. Komentar Abdulla ini merespons kunjungan Presiden AS Joe Biden ke Timur Tengah awal bulan ini dengan singgah di Israel, Arab Saudi, dan wilayah Palestina yang diduduki.
Pemerintahan Biden telah mendesak Israel dan Arab Saudi untuk menormalkan hubungan sebelum kunjungan, meskipun Riyadh tampaknya telah menolak kesepakatan semacam itu.