REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Masyarakat Indonesia diharapkan tidak panik terhadap wabah cacar monyet. Masyarakat hanya perlu mewaspadai penyebaran wabah tersebut dengan baik.
Dokter Universitas Brawijaya, Dhelya Widasmara mengakui belakangan ini dunia medis dan kesehatan tengah dihebohkan dengan penyebaran wabah cacar monyet di beberapa negara. Penyakit yang berasal dari infeksi virus ini disebabkan oleh virus langka dari hewan dengan gejala umum yang hampir mirip dengan penyakit cacar. "Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) menyatakan tanggal 23 Juli 2022 sebagai global health emergency terhadap wabah cacar monyet," kata Dhelya di Kota Malang, Kamis (28/7/2022).
Menurut Dhelya, gejala cacar monyet manusia pada dasarnya mirip dengan gejala cacar air pada umumnya. Namun gejala cacar monyet cenderung lebih ringan. Kemudian pembedanya didapatkan pembesaran kelenjar getah bening (limfadenopati).
Dokter kulit yang berfokus pada infeksi tropik ini mengungkapkan, tanda dan gejala cacar monyet yang muncul bergantung pada fase penyakit. Pertama, fase prodromal di mana penderita akan mengalami demam disertai dengan sakit kepala yang terkadang terasa hebat. Kemudian merasakan nyeri otot, sakit punggung, pembengkakan kelenjar getah bening yang dirasakan di leher, ketiak, atau di area selangkangan, badan panas dingin bahkan kelelahan dan lemas.
Kemudian pada fase erupsi terjadi saat satu sampai tiga hari (kadang-kadang lebih lama) setelah fase prodromal. Pada fase ini biasanya akan timbul ruam atau lesi pada kulit. Ruam atau lesi akan muncul dimulai dari wajah lalu menyebar ke bagian tubuh lainnya secara bertahap.
Menurut Dhelya, ruam atau lesi pada kulit akan berkembang mulai dari bintik merah seperti cacar (maculopapular) lalu lepuh yang berisi cairan bening atau nanah. Kemudian ini akan mengeras atau keropeng hingga akhirnya rontok. Dhelya memastikan gejala cacar monyet akan berlangsung selama dua sampai empat pekan sampai periode lesi atau ruam kulit tersebut menghilang.
Ada pun penularannya, kata Dhelya, terjadi ketika seseorang bersentuhan dengan hewan, manusia, atau bahan yang terjangkit atau terkontaminasi virus. Kemudian virus masuk ke dalam tubuh melalui mikrolesi pada kulit atau luka yang sangat kecil, saluran pernapasan, atau selaput lendir (mata, hidung, atau mulut). Sementara itu, penularan dari hewan ke manusia dapat terjadi melalui gigitan atau cakaran, kontak langsung dengan cairan tubuh atau material dari lesi (seperti darah), atau kontak tidak langsung, seperti melalui alas yang terkontaminasi.
Penularan antar manusia diperkirakan terjadi terutama melalui droplet (percikan) pernapasan. Percikan droplet tidak dapat bertahan lama dan terbang jauh sehingga diperlukan kontak tatap muka yang lama. "Metode penularan dari manusia ke manusia lainnya termasuk kontak langsung dengan cairan tubuh atau material dari lesi, dan kontak tidak langsung dengan material lesi seperti melalui pakaian atau linen yang terkontaminasi," katanya.
Menurut Dhelya, cacar monyet sebenarnya jenis penyakit yang bisa sembuh sendiri. Meskipun demikian, Dhelya tak menampik, sampai saat ini memang belum ada pengobatan yang spesifik untuk infeksi virus tersebut. Oleh karena itu, pengobatan simptomatik dan suportif dapat diberikan untuk meringankan keluhan yang muncul.
Untuk penanganan awal yang dapat dilakukan di rumah, pasien hanya perlu memisahkan diri dari orang lain yang mungkin berisiko terinfeksi. Kemudian melakukan istirahat total, mengonsumsi makanan yang bergizi dan memaksimalkan asupan cairan (banyak minum air putih). Jika mengalami demam, pasien dapat diberikan obat penurun panas.
Sementara itu, pasien yang muncul ruam seperti lentingan berisi air diharapkan tidak digaruk atau dipecah. Untuk mengurangi rasa gatal, dapat dikompres dengan kassa dan cairan infus serta mengkonsumsi obat antihistamin.
Menurut Dhelya, pasien yang harus dipertimbangkan untuk perawatan lebih lanjut yaitu orang dengan gejala berat. Beberapa di antaranya seperti sepsis, ensefalitis, atau kondisi lain yang memerlukan rawat inap).
Ada pun golongan yang mungkin berisiko tinggi terkena mengalami gejala berat seperti orang dengan kondisi immunocompromise (misalnya, infeksi HIV/AIDS leukemia, limfoma, keganasan, transplantasi organ, konsumsi kortikosteroid dosis tinggi, atau memiliki penyakit autoimun).
Kemudian anak-anak yang usianya di bawah delapan tahun dan perempuan hamil atau menyusui. Lalu orang yang mempunyai satu atau lebih komplikasi semisal infeksi kulit bakteri sekunder, gastroenteritis dengan mual/muntah yang parah, diare, atau dehidrasi, bronkopneumonia, penyakit bersamaan atau komorbiditas lainnya.