Senin 01 Aug 2022 03:04 WIB

Kementerian PPPA Ungkap 678 Korban Perdagangan Orang Sepanjang 2021

Pencegahan dan penanganan perdagangan orang perlu dilakukan secara komprehensif

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Gita Amanda
Warga melepaskan burung merpati saat melakukan aksi damai memperingati Hari Anti Perdagangan Manusia se-Dunia di Titik Nol KM, Yogyakarta, Ahad (31/7/2022). Aksi yang digagas oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) itu mengkampanyekan anti perdagangan manusia menyusul masih tingginya kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Indonesia.
Foto: ANTARA/Andreas Fitri Atmoko
Warga melepaskan burung merpati saat melakukan aksi damai memperingati Hari Anti Perdagangan Manusia se-Dunia di Titik Nol KM, Yogyakarta, Ahad (31/7/2022). Aksi yang digagas oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) itu mengkampanyekan anti perdagangan manusia menyusul masih tingginya kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengamati kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Indonesia masih cenderung tinggi. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), pada tahun 2021 terdapat 678 korban TPPO.

Hal tersebut disampaikan Plh Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA, Titi Eko Rahayu dalam peringatan Hari Dunia Anti Perdagangan Orang dengan Talkshow Have a Heart “Berani Lawan Perdagangan Orang dengan Teknologi”. Kegiatan ini untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dapat mengenali bahaya perdagangan orang di lingkungannya, memahami prosedur migrasi aman, serta menciptakan ruang digital yang aman dan ramah bagi perempuan dan anak.

Baca Juga

"Melihat maraknya kasus perdagangan orang yang terjadi, maka kita perlu untuk lebih waspada mengingat dampak yang ditimbulkan dari perdagangan orang, khususnya terhadap perempuan dan anak," kata Titi dalam keterangannya pada Ahad (31/7/2022).

Titi memandang kenaikan tren dan peningkatan jumlah kasus perdagangan orang akibat penggunaan teknologi. Hal ini menjadi perhatian sendiri bagi KemenPPPA. Ia meyakini pencegahan dan penanganan perdagangan orang perlu dilakukan secara komprehensif dan berkelanjutan dengan melibatkan banyak pihak.

"Seiring dengan perkembangan modus perdagangan orang, dibutuhkan pula strategi baru dalam pencegahan dan penanganan perdagangan orang sehingga cara-cara pencegahan dan penanganan yang kita lakukan tidak tertinggal," ujar Titi.

Sementara itu, Koordinator Dept. Pendidikan dan Sosialisasi DPN Serikat Buruh Migran Indonesia, Maizidah Salas mengungkapkan beberapa penyebab perempuan rentan menjadi korban perdagangan. Salah satunya akses informasi yang kurang dari pemerintah kepada masyarakat. Hal ini yang kemudian menjadi celah bagi para oknum calo untuk melakukan perekrutan.

"Perempuan juga seringkali menjadi korban pemalsuan data oleh oknum calo, salah satunya terkait pemalsuan usia. Kemudian, minimnya program – program pemberdayaan bagi perempuan, atau bantuan berupa pemodalan – pemodalan ke perempuan desa, sehingga menyebabkan banyak perempuan di desa yang terpaksa memilih pekerjaan di luar negeri untuk mendapatkan penghasilan terutama di masa pandemi ini, apalagi dengan banyaknya PHK,” ujar Maizidah.

Senada dengan hal tersebut, Ketua Jaringan Nasional Anti TPPO, Rahayu Saraswati mengungkapkan salah satu penyebab terjadinya tindak pidana perdagangan orang adalah faktor ekonomi. Sebab dengan adanya pandemi, secara ekonomi banyak yang kesulitan.

"Dengan meningkatnya permasalahan ekonomi, maka akan berdampak pada meningkatnya jumlah orang yang lebih rentan menjadi korban perdagangan orang. Disini kita memiliki tantangan, karena jika berbicara soal TPPO maka tidak lepas dari permasalahan ekonomi,” ujar Rahayu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement